Jumat, 27 Februari 2009

cErpeN "GamELan sEtaN"

Ning nong ning gung
Ning nong ning gung
Suara tetabuhan itu seolah akrab dengan telingaku, tapi entah darimana asalnya. Pada saat aku berkunjung ke rumah sepupuku Darminto di pedesaan yang cukup jauh dari jalan raya. Sudah lima hari ini aku tinggal di rumah Darminto yang sederhana, namun hangat dengan keramahannya, dan dia tinggal sendirian disana karena telah yatim piatu. Pekerjaannyapun hanyalah sebagai petani sederhana, meskipun penah tinggal dirumahku selama 3 tahun lamanya. Secara umum, desa tempat Darminto ini termasuk desa yang damai meskipun terkesan sangat apa adanya.
Tetapi, ada yang aneh semenjak aku datang kemari lima hari yang lalu. Setiap malam desa ini selalu langsung seperti desa mati. Nyaris tidak ada kehidupan dan entah mengapa penduduk selalu mengunci rapat-rapat pintunya dan hanya menghidupkan lampu tempel. Aku sendiri juga heran, mengapa Darmintopun melakukan hal yang sama, menutup pintu rapat-rapat setelah Maghrib dan hanya menghidupkan lampu tempel. Memang sudah lumrah jika desa Darminto ini belum dialiri listrik, namun mengapa hanya satu lampu saja yang dihidupkan, dan itupun hanya diruang tamu dan harus dimatikan pada saat tidur.
“To, kenapa desa ini setiap habis Maghrib seolah seperti desa mati?” tanyaku suatu pagi saat menikmati sarapan berupa nasi tiwul dan sayur lodeh pedas. Darminto yang tinggal sendiri karena belum menikah inipun hanya menggelengkan kepala.
Demi melihat Darminto yang demikian, aku makin penasaran dengan apa yang terjadi. Semua kejadian, lebih-lebih setelah dua malam terakhir aku selalu mendengar suara gamelan yang sayup-sayup terdengar.
“To, kamu itu bagaimana…wong aku ini sepupumu, masak kamu nggak mau ngasih tau apa yang terjadi didesa ini.” Aku semakin penasaran, sementara Darminto hanya menunduk sambil meneruskan makannya.
Aku sudah mencoba bertanya-tanya kepada penduduk pula, namun jawabannyapun sama…mereka seolah enggan menjawab, bahkan di airmuka mereka aku membaca kecemasan dan keresahan.
“Jangan, den…nanti saya dapat celaka.”
“Nyuwun ngapunten, saya tidak bisa cerita.”
“Maaf, saya harus kedesa sebelah”
“Jangan saya, mas..”
“Bukan waktu yang tepat Mas untuk cerita.”
Bahkan ada yang langsung masuk kerumahnya saat saya bertanya soal itu. Mengapa setiap habis Maghrib mereka langsung menutup pintu dan kenapa suara gamelan itu terdengar.
***
Ning nong ning gung
Ning nong ning gung
Suara gamelan itu lagi-lagi terdengar, terbawa hembusan angin. Padahal setahuku tidak ada warga desa yang mengadakan pesta apalagi pesta perkawinan. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun saat aku hendak beranjak keluar dari rumah, Darminto buru-buru mencegahku.
“Din, jangan keluar…nanti kamu bisa celaka.”
“Apanya yang celaka, To?” aku malah bertanya. Aku benar-benar dicengkam rasa penasaran, dan puncaknya pada malam kelima itu.
“Sudah, pokoke kamu jangan sekali-kali keluar.” Darminto berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku justru jengkel, karena setiap pertanyaanku selama tinggal disini selalu dibiarkan menggantung. Suara gamelan itu masih membahana, terbawa hembusan angin malam. Dan memang benar, bulu kudukku merinding, namun karena rasa penasaranku kian membuncah dan aku benar-benar harus tahu apa yang terjadi didesa ini, maka aku justru marah kepada Darminto.
“To, kenapa kamu selalu mengucapkan kalimat yang sama?” habis sudah kesabaranku.
Darminto hanya terdiam, namun demi melihat sikapnya aku justru makin marah.
“Setiap aku bertanya, kenapa suara gamelan itu ada. Mengapa kau malah melarangku? Aku juga berhak tahu apa yang terjadi?” kutumpahkan semua kekesalanku.
Darminto duduk diam, matanya menerawang kearah luar, meski jendelanya tertutup rapat. Suara kebogiro yang kudengar sayup-sayup itu rasanya kian keras, dan suasana malam kian menyeramkan karenanya.
“To, tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi disini.” Aku mendesak Darminto agar segera menjelaskan. Sudah lelah aku mendapat jawaban yang sama setiap hari, bahkan pernah aku diusir dari rumah Pak Diran gara-gara menanyakan soal gamelan misterius tersebut.
Darminto masih diam seribu bahasa. Matanya seolah memelas menatap padaku. Aku mendekat pada Darminto dan berkata
“Sudahlah, To. Kalau kamu tidak mau bicara, biar aku sendiri yang cari jawabannya.” Aku sudah putus asa dan ingin jawaban segera. Suara gamelan itu masih terdengar, hingga menjelang dini hari. Aku tidak dapat tidur karena suara itu seolah menggelitik alam bawah sadarku.
Ini harus segera diselesaikan sebelum aku mati penasaran karenanya.
***
Aku menunggu saat malam kembali menjelang. Saat suara gamelan itu kembali berkumandang. Diam-diam aku keluar dari rumah Darminto tepat pukul 9 malam, kubuka pintu perlahan-lahan agar Darminto tidak terbangun. Aku sangat penasaran dengan suara gamelan yang melantunkan kebogiro itu, mengapa hampir setiap malam gamelan itu terdengar, semenjak aku datang ke kampung itu.
Aku berjalan berjingkat kearah luar rumah. Suasana terasa sangat mencekam, nyaris tidak ada penerangan dan hanya pijar lampu tempel yang berkerlap-kerlip disepanjang jalan kampung itu. Dan menurut Pak Jimbrong, sejak seminggu sebelum kedatanganku ke kampung ini suara-suara gamelan itu selalu terdengar seolah menjadi teror yang tak berujung bagi para penduduk yang sebelumnya hidup damai itu. Angin berhembus perlahan, membawa hawa dingin yang mencekam, sementara aku sendiri berusaha mempertajam pendengaran, kuingin tahu, darimana asal suara gamelan itu.
Langit tidak berbintang, kadangkala suara lolongan serigala membahana, seolah memerikan kengerian dan kesedihan. Aku sendiri sebenarnya merinding, takut, sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dikampung ini.
“Aku harus tahu darimana gamelan itu berasal.” Tekadku dalam hati demi mengalahkan rasa takut yang sebenarnya perlahan merajai jiwaku. Kututup pintu rumah Darminto dengan sangat berhati-hati. Senyap…tanpa kehidupan, bahkan suara jangkrikpun tak terdengar sama sekali. Aku condongkan badanku untuk mencari arah suaranya.
“Aha…itu dia!” seruku dalam hati. Takut jika Darminto terbangun. Suara hatiku mengatakan bahwa bunyi gamelan berasal dari bukit disebelah kampung. Kurapatkan jaketku dan dengan berlari kecil aku menuju Bukit yang oleh warga disebut Bukit Kalancaka. Semakin kudekati, suara gamelan itu seolah menjauh dan menjauh…Aku makin penasaran dengan hal tersebut. Namun, aku tetap mengikuti arah angin dimana suara kebogiro tadi berasal. Nada demi nada yang teralunpun sebenarnya indah, melambangkan prosesi agungnya suatu pernikahan adat Jawa. Akan tetapi, karena terdengar dimalam hari, sementara tak ada satu wargapun yang mengadakan perhelatan, serta kampung tadi termasuk jauh dari kampung tetangganya (yang memerlukan waktu 2 jam berjalan kaki), maka suasana angker itulah yang merajalela.
Kemungkinan waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam manakala aku tanpa terasa sudah sampai ke kaki bukit Kalancaka!
Bukit ini nampak angker dengan batu-batu cadasnya yang tersembul diantara rimbunnnya hutan. Kata penduduk setempat, tak seorangpun yang berani menginjakkan kaki ke bukit itu bahkan disiang hari.
“Lebih baik sampeyan jangan ke bukit Kalancaka, Mas.” Kata seorang petani tua mengingatkanku pada saat aku bertanya tentang bukit tadi. Terlihat angkuh sekaligus angker.
“Menurut orang sini, jika nekad kesana berarti celaka.” Kata Darminto, yang mana justru menerbitkan rasa penasaranku. Aku sendiri takkan percaya sebelum membuktikannya sendiri. Darminto yang dulu pernah tinggal ditempatkupun sangat paham dengan sikap keras kepalaku.
“Tapi ingat Din. Kami saja belum pernah kesana. Jadi tolong….” Darminto tak meneruskan kata-katanya. Aku bahkan sampai perang mulut dengannya karena keinginanku tadi, dan akhirnya aku pendam sendiri keinginan itu dalam-dalam menjadi sekam yang sewaktu-waktu bisa membakar lagi. Darminto nampak sangat ketakutan.
Kuperhatikan bukit Kalancaka yang sebenarnya sangat indah. Namun aku tidak begitu memperhatikannya karena lebih tertuju pada suara gamelan yang makin lama makin jelas.
Jantungku tiba-tiba berdetak dengan keras, saat langkahku makin mendekati sumber suara gamelan. Keringat dinginpun mulai bercucuran, gemetar, dan mataku yang berusaha meraba gelap.
Takut? Tentu! Tak terpungkiri
Cemas? Tidak kurang! Apa yang ada didepan sana?
Penasaran? Makin tebal!
Aku berusaha mematikan rasa takut dan cemas itu. Aku sudah bertekad untuk mengetahui apa yang terjadi dibukit Kalancaka ini! Sementara…
Ning nong ning gung
Ning nong ning gung
Suara itu kian membahana, membedah dan mengobrak-abrik sanubariku. Sebenarnya apa yang terjadi? Langkahku makin mendekati sumber suara, seolah terjadi suatu keramaian yang luar biasa. Tiba-tiba aku mendengar suara-suara manusia yang mendekat. Bergegas aku bersembunyi dibalik semak belukar. Sementara langkah-langkah kaki manusia tadi semakin jelas. Ternyata mereka adalah sosok seperti manusia yang memakai busana seolah hendak kepesta perkawinan. Ada empat orang yang masing-masing membawa seperti bungkusan. Entah apa isinya. Aku sendiri berusaha makin mendekat, seiring dengan suara gamelan yang seolah mengejekku untuk segera menemukan dirinya. Kubuntuti keempat orang yang semuanya laki-laki itu hingga harus menapaki terjalnya jalan bukit yang hanya berupa jalan tikus berbatu.
Suara gamelan itu kian membiusku…aku terus berjalan hingga disuatu titik, tepatnya disebuat tempat lapang yang terdiri dari padang rumput, aku melihat sudah begitu banyak orang disana. Mereka melihatku, namun seolah tidak memperdulikanku. Sementara suara gamelan itu semakin mendekat.
Saat aku menoleh kearah kerumunan, aku melihat sekelompok orang yang memainkan gamelan. Namun yang aneh! Hampir semuanya berwajah mengerikan! Aku nyaris saja berteriak kalau tidak ingat dengan apa pesan Kakekku sebelum pergi. “Jika engkau hendak pergi ke suatu tempat yang tak dikenal, janganlah bersuara.” Sebagian besar pemainnya mirip tuyul, dengan bibirnya yang terbalik. Ada yang memegang gong, kempul, bonang, kenong, gender, peking, slenthem, bahkan rebab juga. Semuanya memainkan tembang kebogiro yang makin kuhafal nadanya.
Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa Jawa yang kurang lebih berbunyi :
“Rombongan pengantin telah tiba.”
Aku sekejap menoleh, sudah ada rombongan besar pengantin dengan busana jawa yang lengkap. Sang pengantin perempuan memakai pakaian solo basahan yang anggun dengan bunga melati lengkap menghiasi sanggulnya serta cundhuk mentul yang mempermanis penampilannya. Tetapi pada saat aku melihat pengantin prianya. Aku seketika terhenyak! Jantungku serasa hendak lepas dari pembuluh besar pernafasanku.
Darminto! Tidak! Tidak mungkin! Jangan dia!
Pengantin pria tadi berwajah mirip Darminto, namun dia pucat, tatapannya kosong. Sekilas dia menatap kearahku, kosong dan sedih. Itu yang aku tangkap dari tatapan Darminto. Tidak mungkin! Wajahnya seperti Darminto!
Aku bergegas berlari meninggalkan arak-arakan pengantin tadi. Namun suara gamelan itu seolah terus mengejarku, tanpa peduli aku berlari kearah mana. Kuturuni bukit Kalancaka hingga berguling-guling. Aku terluka, tapi aku terus saja berlari. Kutoleh belakang, arak-arakan pengantin itu seperti mengejarku. Wajah mereka terlihat berdarah-darah dan matanya yang keluar, bahkan ada yang menjelma menjadi sosok kuntilanak yang terus mengejar kemanapun aku lari. Arak-arakan itu semakin ketat menempel dibelakangku seolah hendak menerkamku, aku semakin ketakutan, nafasku kian tersengal-sengal. Suara gamelan kebogiro itu tiba-tiba berimbalan dengan suara lolong serigala dan cekikikan yang sangat meloloskan sukma. Aku terus berlari, berlari dan terus berlari hingga tiba-tiba aku tersandung batu, dan terhempas ke jurang yang dalam. Aku hanya bisa terpekik…
Aaaaaaaaa……………
Badanku melayang seolah layangan yang lepas, tak berdaya
***
“Nak, bangun!” sebentuk suara membangunkanku.
Aku terhenyak ketika sepasang tangan mengguncang-guncang tubuhku. Aku seolah terbangun dari mimpi, ketika kulihat Pak Jimbrong yang membangunkanku. Badanku terasa sakit-sakit. Aku ternyata tergeletak di tegalan.
“Kenapa tidur disitu Nak?" tanya Pak Jimbrong. Aku berusaha bangun, namun sakit sekali sehingga dia memapahku.
Aku tersadar kalau masih ada di kaki bukit Kalancaka. Pak Jimbrong masih terus memapahku hingga sampai di sebuah dangau. Kami berduapun duduk disana, sementara aku masih teringat soal tadi malam. Dimana aku melihat arak-arakan pengantin, yang mana pengantin prianya adalah Darminto, dan aku berlari menghindari kejaran para anggota arak-arakan hingga aku terjatuh ke dalam jurang yang ternyata adalah tegalan sawah yang masih basah.
Pak Jimbrong tiba-tiba memapahku keluar dari dangau. "Din, kamu harus cepat-cepat pulang ke rumah Darminto!" "Kenapa Pak?" aku justru malah bingung dengan sikapnya.Seperti ketakutan, Pak Jimbrong tanpa bicara lagi langsung mengajakku ke rumah. Sesampainya disana, sudah banyak orang berkumpul di rumah Darminto. Ada yang melafalkan ayat-ayat suci, namun ada juga yang terheran-heran...aku bergegas masuk kedalam rumah meski kakiku terpincang-pincang. Perasaanku mulai berkata bila ada sesuatu yang terjadi pada diri Darminto. "Oh, Jangan...jangan Tuhan! Jangan dia!" aku semakin cemas. Kutakpedulikan lagi orang-orang yang duduk bersila sambil menghadap sesuatu yang ditutupi kain batik. Aku tidak sabar lagi untuk membuka kain penutup jenazah itu demi melihat...."DARMINTOOO!!!!!!" aku berteriak sejadi-jadinya.Dihadapanku kini terpampang jasad Darminto yang membelalak dengan tangan sedikit mengangkat keatas. Kaku dan tidak bisa digerakkan lagi. Mulutnya juga terbelalak, sementara orang-orang banyak yang berbisik-bisik mengenai sebab kematiannya. Aku menangis sejadi-jadinya. Apa ini yang kutemui di bukit Kalancaka? Kenapa Darminto sampai jadi korban?Apa yang dia lakukan sehingga nyawanya hilang begitu saja?Apakah dia meminta pesugihan disana?Apakah gamelan gaib itu menjadi pertanda akan adanya kematian? Entahlah....Aku bingung....tiba-tiba telingaku mendengar suara lirih gamelan itu lagi seolah mengantar kepergian Darminto. Aku limbung....dan dunia menjadi gelap...
Ning nong ning gung
Ning nong ning gung

pantun asyik

Banyak sayur dijual di pasar
Banyak juga menjual ikan
Kalau kamu sudah lapar
cepat cepatlah pergi makan
Kalau punya gigi ompong
cepat cepat ke dokter gigi
kalau jadi anak sombong
pasti nanti jadi rugi.
Buah kedondong
Buah atep
Dulu bencong
sekarang tetepp

C3RP2N SMPN 17

Friday, January 18, 2008

Cerpen M Badri

Selalu ada air mata. Di setiap langkah menyusuri jalan berbatu itu, menembus pekat belukar, menuju bekas kampungnya. Kadang telapak kaki membentur kerikil-kerikil tajam berserakan, besi-besi tua, kaleng-kaleng rombeng dan belulang binatang rimba. Matanya menatap nanar pada cahaya kunang-kunang yang bertebaran di tepi jalan. Menikung, menanjak dan menurun, searah pipa baja sebesar pohon kelapa. Pipa hitam yang puluhan tahun lalu menancapkan luka di jantungnya, di kampungnya.

Masih ada kenangan dalam benaknya, terlampau membara untuk dilupakan. Bulan sabit yang diselimuti awan gelap menambah kelam ingatan tentang kampung halaman, gubuk-gubuk kayu, orang-orang lugu. “Masih adakah lubuk hijau itu?” Ia mencoba mengingat sebuah danau yang airnya selalu hijau. Dulu, di masa kecil, ia biasa menombak ikan di sana. Bermain sampan sampai ke tengah, memunguti lumut dan teratai hutan.

Desah nafasnya bersahutan dengan suara serangga hutan, desis ular, kicau burung malam, pekikan siamang. Tapi ia tidak takut, atau langkahnya surut. “Bukankah aku lelaki beraroma rimba,” bisiknya. “Sudah cukup banyak binatang buas yang kubunuh, dan tubuhku, di masa kecil dulu sudah penuh luka oleh duri-duri hutan dan cakaran binatang. Lalu kenapa aku harus takut? Ini tanah kampungku, rimba moyangku. Akulah hantu hutan itu.”

Ia melemparkan cerutu, membiarkan percik apinya dipadamkan angin. Dari kejauhan, ia melihat kerlap-kerlip lampu dari warung-warung liar yang berdiri sepanjang jalan lintas. Tempat ia meninggalkan mobil dan sopir pengantarnya. Ia ingin jalan kaki, sendirian, dalam gelap. Menyusuri jalan berbatu puluhan kilometer ––mungkin sampai pagi. Sampai telapak kakinya penuh darah, penuh luka. Mungkin itulah cara ia mengingat luka moyangnya, luka kampung halamannya. Puluhan tahun lalu.

***

Haruskah ia berterimakaih kepada William? Atau justru mengutukinya, menyumpahinya, juga orang-orang sebangsanya. Merekalah awal segala petaka, sumber segala duka. “Setelah menancapkan pipa berkarat ke kampung kami, lalu menanaminya dengan luka. Mengoyak kehidupan hingga mengalirkan air mata abadi.” Dipungutnya sebuah batu seukuran kepalan tangan, lalu dilemparkannya ke pipa baja yang rebah dengan angkuh. Tang!

“Aku bukan Gabriel, si malaikat itu. Bukan, aku bukan si malaikat. Aku Awang si anak Sakai degil, si anak hutan yang takut pada suara gergaji mesin dan buldoser. Lalu kenapa namaku menjadi Gabriel? Apa karena si keparat William, ah bukan si keparat. Dia menjadi papaku, orang asing yang membesarkanku. Setelah kampungku luluh lantak, tanpa bekas. Betul, tanpa bekas.”

Ia terus bergumam sambil menghirup udara dalam-dalam. Ingatannya kembali ke puluhan tahun lalu, masa kecil dengan kebahagiaan yang sederhana. Tempat bermainnya sebatas semak belukar dan rawa-rawa. “Akulah Awang!” teriaknya di malam sunyi, disahuti lengking siamang dan burung malam.

Saat itu hutan-hutan masih lebat, rawa-rawa mengalirkan air dengan jernih. Lalu datanglah orang-orang bertubuh tinggi besar, berambut dan berkulit merah. Mereka datang ke hutan dengan pengawalan tentara. Survei katanya, sebab di hutan itu ditengarai terdapat banyak sumber minyak bumi. Kemudian di waktu yang lain, datang orang-orang yang berbeda. Juga melakukan survei dan pemetaan. Katanya, hutan-hutan itu sangat potensial dijadikan bahan baku kayu lapis dan kertas.

Mereka semakin sering datang, sesekali mampir ke gubuk-gubuk renta di tengah hutan. Memberi anak-anak kecil makanan dalam kemasan, minuman kaleng, biskuit dan sebagainya. Awalnya anak-anak takut kepada orang asing, tapi lama kelamaan menerima makanan aneh itu. Juga Awang, si anak degil yang tubuhnya dipenuhi guratan onak. Sebab makanan bagi mereka, hanya buah dan umbi-umbian hutan. Juga ikan-ikan rawa yang biasa mereka tangkap dengan tombak atau bubu.

Lalu, semakin banyak orang datang. Semakin banyak suara mesin meraung-raung. Mereka menebangi hutan, membabati semak belukar dan meracuni sungai-sungai untuk diambil ikannya. Binatang buruan semakin jarang, sebab orang-orang asing itu menembakinya untuk dijadikan santapan. Anak-anak semakin takut, sebab raungan mesin gergaji dan buldoser siang malam membisingkan hutan. Meriuhkan ketenangan rimba yang selama ini mereka hayati.

“Di mana kini Lamira? Si cantik berambut panjang itu. Perawan harum bunga rimba, yang setiap pagi dan petang pergi ke sungai. Ah, di mana perawan malang itu kini berada. Sudahkah dia setua aku dan tinggal di kota?” gumamnya lirih. Dia terkenang Lamira, gadis kampungnya yang lugu dan pemalu. Dulu, dulu sekali di masa kecilnya, perawan cantik itu pernah dikabarkan hilang. Lalu dua hari kemudian ditemukan menangis tersedu-sedu di bawah sebatang pohon meranti tua. Hilang diculik begu, si hantu hutan itu kah?

“Tidak! Aku tidak percaya dengan bualan tentang hantu hutan yang suka menculik perawan. Sebab kejadian itu baru sekali, pada Lamira. Sebab kami juga berkawan dengan hantu-hantu itu, yang setiap purnama kami hibur dengan tarian dan tetabuhan. Lamira tidak diculik dan disetubuhi begu. Aku yakin sekali, dia disekap dan diperkosa oleh orang-orang perusahaan itu. Karena ia selalu lari ketakutan dan menangis setiap orang-orang itu datang, atau sekadar lewat di kampung.”

Ia terus melangkah, hingga telah melewati beberapa bukit dan tikungan. Malam semakin larut, ditandai dengan bunyi binatang nokturnal yang semakin ramai. Suaranya gaduh seperti pasar malam di tepi jalan berbatu dan semak belukar sepi itu. “Lalu di mana kini Lamira? Mungkinkah dia salah satu dari puluhan perempuan tua penjual kacang rebus di rumah makan dekat jalan lintas tadi? Aku sudah sangat lupa dengan wajahnya, apalagi harum bunga rimba di tubuhnya.”

Sejak kedatangan mesin-mesin raksasa ke tengah hutan itu, semakin banyak pohon ditebang. Kayu besar diangkut truk tronton roda sepuluh, katanya untuk bahan kayu lapis. Sedangkan kayu kecil diangkut untuk bahan baku kertas. Mereka semakin banyak mendatangkan mesin-mesin dengan suara melengking. Membuat lubang dengan mesin bor, lalu memasang robot yang mengangguk-angguk setiap saat. Belakangan ia tahu, itu pompa untuk mengangkat minyak bumi yang banyak terdapat di dalam tanah, di dalam hutan. Mengalirkannya ke pipa-pipa raksasa yang memanjang tak putus, melengkung mengikuti arah jalan.

Jumlah pipa semakin banyak, mengikuti pertambahan mesin pengeboran minyak. Kemudian, ketika jalur pipa mengarah ke kampung penduduk suku terasing itu, masalah mulai terjadi. Sering terjadi pertengkaran antara penduduk kampung dan orang-orang perusahaan. Apalagi ketika sungai kecil yang melintasi perkampungan tak seberapa besar itu, banyak dicemari limbah minyak. Ikan-ikan mati, hutan-hutan habis, orang-orang kampung semakin bernasib tragis.

“Itulah malam jahanam! Mereka, orang-orang perusahaan, membakari gubuk-gubuk kami. Mengusir dan memporak-porandakan kehidupan kami.” Ia tetap meneteskan air mata, saat berjalan di samping pipa di tepi jalan itu. Air matanya semakin menderas, ketika ia ingat ibu bapaknya, juga dua adiknya ––yang tidak pernah ditemuinya lagi sampai sekarang. Samar-samar ia masih ingat, ketika terjebak di kobaran api dan terpisah dari orang-orang kampung yang berlarian ke dalam hutan. Ia masih ingat, saat seorang lelaki berkulit dan berambut merah menggendongnya menjauh dari kobaran api.

“Sampai kini aku tidak tahu, apakah mesti berterimakasih atau mengutuki William. Mengabdi atau mencaci papa Will?” ia menendang kaleng bekas soft drink yang dibiarkan tergeletak di tepi jalan. Kaleng itu mengenai salah satu sisi pipa. Klontang!

Ia juga masih ingat, setelah itu penolongnya ––kemudian ia ketahui bernama William–– membawanya ke barak, menjauhkannya dari kehidupan rimba, menyekolahkannya. Kemudian setelah bisa sedikit berbahasa Inggris, ia dibawa pulang ke negaranya, tempat asal perusahaan pengeboran itu. Saat itu kebetulan masa kontrak William di perusahaan sudah habis. Maka budaya rimbanya kemudian terkikis, menjadi budaya metropolis. Berpuluh-puluh tahun, sampai ia ingin kembali ke masa lalunya. Pulang ke bekas kampung halamannya, tanah moyangnya.

Ia memandangi beberapa pompa angguk yang terdapat di tepi jalan. Juga cerobong di bekas pengeboran yang selalu mengeluarkan api, meliuk-liuk di angkasa dengan jalang. “Aku yakin, setelah puluhan tahun pasti tanah-tanah di sekitar areal pengeboran ini berongga. Kalau ada gempa besar mungkin akan runtuh dan menyisakan lubang menganga. Aku yakin itu, seperti kampung penuh lumpur di timur pulau Jawa yang sampai sekarang masih menyisakan luka.”

Ia tersenyum kecut. Matanya memandang silhuet beberapa pohon meranggas. Berdiri di antara batang-batang kelapa sawit yang tumbuh tak teratur di beberapa tempat. “Aku tidak bisa membayangkan, seandainya kebakaran hutan yang setiap tahun melanda daerah ini, tiba-tiba meledakkan pipa-pipa itu. Tempat ini akan menjadi neraka.” Ia berhenti dan menyandarkan tubuhnya di samping pipa, menyalakan rokok, lalu menghembuskan asapnya perlahan-lahan. Ia istirahat sambil melamun, menikmati keheningan malam di tepi jalan menuju bekas kampungnya.

***

Menjelang dini hari, lamat-lamat ia mendengar deru mobil dari ujung jalan. Hanya dua sisi lampunya saja yang nampak jelas, meliuk-liuk mengikuti tikungan dan perbukitan. Ia tidak terlalu mempedulikannya, dan terus melangkahkan kaki. Mobil di depannya semakin mendekat, ada lampu merah saga di atasnya, menyala berputar-putar. Sebentar kemudian suara sirenenya melengking nyaring dan mobil berhenti tepat di depannya. Empat orang berpakaian security turun sambil membawa pentungan.

“Siapa kau! Malam-malam berkeliaran di areal pengeboran?” hardik security berseragam biru tua.

“Aku Gabriel si malaikat, bukan, aku Awang si anak Sakai. Aku mau melihat sisa kampungku,” jawabnya gugup.

“Tak ada perkampungan di sini. Kau mau mencuri? Kau anggota bajingan pencuri besi tua ya? Ayo ngaku!” seorang security menarik kerah bajunya.

“Tidak! Bukan! Aku mau mengunjungi bekas kampungku.”

“Pukimak! Maling mana mau ngaku!”

“Ayo kita bawa ke pos,” kata security yang lain sambil mendorongnya ke bak mobil patroli.

Braaak!

Security itu menghempaskannya sambil memaki-maki. Lalu mobilnya segera menderu ke arah jalan raya, ke arah yang tadi dilewatinya. Tubuhnya telungkup dengan borgol di tangan. Dari bias lampu mobil, dia masih bisa melihat pipa-pipa besar itu semakin memanjang dan menjauh. Di tepi jalan berbatu, menjauhkannya dari bekas kampungnya, di masa lalu.

Air matanya masih tersisa. Sejenak ia teringat gubuk-gubuk kayu di tengah hutan, kampungnya di masa lalu, orangtua dan adik-adiknya. Rumah mungilnya di tepi Mississipi, istri dan seorang anaknya. Juga William yang kini telah tua dan pikun, teronggok di kursi roda. Dia merasa harus segera pulang, entah ke bekas kampungnya atau kembali ke negaranya. Kemudian pandangannya menghitam, semakin gelap, mengikuti warna pipa di depannya.***

Dumai – Bogor, 2007
Tuesday, September 11, 2007

Cerpen M Badri


Mereka menyandarkan tubuhnya di pagar sungai. Menatap aliran airnya yang perlahan dan kehitaman. Di sekitarnya, gedung-gedung tinggi menjulang menghimpit matahari senja yang bersinar kemerahan. Sebagian cahayanya memantul di antara tumpukan sampah yang berputar dan mengendap. Mereka menikmati matahari yang perlahan-lahan meredup. Berganti dengan lampu-lampu yang sebagian tertata rapi, dan sebagiannya lagi berserakan. Suasana itu mengingatkannya pada lanskap enam puluhan tahun lalu. Di tepi sungai ini, mereka biasa menunggu malam di bawah sebatang asam ranji tua sambil memainkan harmonika. Mereka sangat menikmatinya, saat kunang-kunang mulai beterbangan dari satu perdu ke perdu lain. Bersaing dengan bintang-bintang yang bermunculan. Tak ada bunyi jangkrik lagi di kampung ini ––yang kini menjadi kota. Apalagi lenguh kerbau dan bising anak-anak pergi ke surau.

Hasan dan Frans, mereka kembali bertemu dua hari yang lalu. Setelah lebih enam puluh tahun menjalani takdir masing-masing. Pertemuan yang direncanakan, setelah pertemuan sebelumnya karena ketidaksengajaan. Sebulan lalu, Hasan baru saja diundang Greenpeace ke kantor pusatnya di Amsterdam. Ia menerima penghargaan dari organisasi lingkungan internasional itu, sebagai orang yang hampir seumur hidupnya menjaga kelestarian lingkungan. Memelihara kelestarian hutan dan cadangan air di kampungnya, yang semakin lama semakin menipis. Sebab di lereng gunung, di kampungnya, vila-vila terus bermunculan. Berdiri angkuh setelah merobohkan pohon-pohon dan tebing. Usaha yang oleh orang kebanyakan dianggap sis-sia, itulah yang kemudian dihargai.

Hasan bertemu kembali dengan Frans, saat jalan-jalan menyusuri taman kota Amsterdam suatu sore, di hari terakhir kunjungannya ke kota itu. Dua lelaki tua, duduk berhadap-hadapan di bangku yang berbeda. Satunya memegang tongkat dari logam ringan, satunya lagi menyandarkan punggung rentanya di bangku taman. Tak ada percakapan, Hasan hanya menajamkan pandangan ke arah lelaki tua di depannya. Hampir setengah jam berpikir, sebelum memutuskan untuk menyapa.

“Kau itu Frans?” Ia mulai bicara. Enam puluh tahun lebih bukan waktu yang baik untuk menyimpan ingatan.

“Benarkah itu kau?” Ia kembali menegaskan.

Lelaki di depannya, yang kelihatan lebih tua, masih diam dan heran. Dia melepas kacamata tebalnya, lalu memasangnya lagi, berkali-kali. Alat bantu dengar yang menempel di telinganya dia sempurnakan letaknya.

“Frans?”

Who are you?” dia menurunkan posisi kaca matanya.

“Hasan! Hasan Bin Makmun...”

Tapi dia masih heran dengan orang yang menyapanya dengan bahasa Indonesia. Sebab puluhan tahun dia tidak menggunakan bahasa itu. Tapi dia masih mengingatnya, meskipun kosa kata yang dihapalnya sudah banyak yang luruh, seiring dengan renta usianya.

“Siapa kamu?” dia memastikan.

“Hasan! Sungai Ciliwung...”

Dia masih berpikir. “Hasan, sungai Ciliwung... Sungai Ciliwung... Hmm...”

“Batavia! Jakarta! Indonesia! Harmonika! Ya, harmonika di sungai Ciliwung...” Hasan diam sejenak sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk membantu ingatan lelaki tua itu.

“Asam ranji...!” Dia tahu lelaki tua di depannya menyukai pohon besar yang dulu sering didatanginya, setiap senja, sambil memainkan harmonika.

Lelaki yang dipanggil Frans mengangguk-angguk.

“Ya, ya... I ingat, ingat... Asam ranji di Hindia, Indonesia...”

Dia tersenyum.

“Hasan cowboy.... Ya? Eh, penggembala itu bull, ker-ker-kerbau... He-he-he...” Dia terkekeh, memperlihatkan barisan gusinya yang tanpa gigi.

“Iya, Hasan gembala kerbau... Ternyata kau masih ingat, Frans?”

Kemudian mereka berpelukan, lama sekali, sambil meneteskan sisa air mata yang mengalir dari mata mereka yang telah dikerumuni kerak katarak. Sore di Amsterdam itu, kemudian menjadi cerita panjang. Sampai hampir tengah malam mereka bernostalgia tentang masa lalu. Kemudian Hasan mengundang Frans berkunjung ke Indonesia, setelah berpuluh-puluh tahun.

***

Mereka duduk-duduk di bawah sebatang asam ranji. Di sebelahnya sungai yang tak begitu luas mengalir jernih dan kehijauan. Banyak ganggang dan lumut tumbuh di dasarnya. Beberapa sampan lalu lalang membawa penumpang. Di sanalah mereka hampir setiap senja duduk di bawah rindangnya pohon, menghadap ke sungai sambil meniup harmonika. Sebab di antara sampan-sampan itu, selalu ada noni-noni Belanda yang cantik dan amoy-amoy bermata lembut yang menumpang. Menghabiskan waktu sore menyusuri sungai yang jernih, sambil memandang keindahan matahari senja yang kemerahan.

Dua remaja itu, Frans dan Hasan––tentunya setelah Hasan meninggalkan kerbau-kerbaunya di lapangan rumput yang tidak jauh dari sungai–– menyukai pemandangan itu. Gadis-gadis cantik di atas sampan, berkulit lembut dan bibir kemerahan. Senja menjadi sangat romantis, meskipun mereka sama sekali tidak berani menyapa gadis-gadis itu. Hanya suara harmonikanya saja yang kadang menggoda. Balasannya cukup dengan senyuman. Sederhana bukan?

Frans beribu Manado dan bapaknya perantau Belanda yang menjadi pegawai rendahan di perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda. Namun setelah Indonesia dikuasai Jepang, kemudian keluarganya pulang ke Belanda. Hampir setahun mereka berkawan, sebab Frans yang Indo tidak berkawan dengan para pemuda Eropa. Dia sering menyendiri di dekat asam ranji. Kemudian bertemu Hasan, si penggembala yang sering menunggu kerbau-kerbaunya merumput di tempat sama. Frans mengajarinya bermain harmonika dengan irama-irama sederhana.

“Sungai ini sangat indah. Alirannya selembut rambut gadis-gadis itu.” Frans bergumam sambil membolak-balik kumpulan sajak William Butler Yeats, pemenang Nobel 1923 yang sajak-sajaknya dinilai inspiratif dan kebesaran bentuk artistiknya menghidupkan daya hidup semua bangsa. Buku yang dicetak stensilan dengan huruf-huruf kabur tersebut sering dibawanya bergantian dengan syair puitis Rabindranath Tagore dan puisi kritis T.S. Eliot.

“Begitu berartikah sungai, bagimu?”

“Iya, sungai sumber kehidupan semua mahluk di sekitarnya. Sumber keindahan kita juga bukan?”

“Benarkah?” kata Hasan sambil terus memainkan harmonikanya.

“Bayangkan jika sungai ini kotor! Mana mau gadis-gadis di sampan itu bermain di atasnya. Tempat yang indah selalu mendatangkan keindahan...”

“Dari mana kamu dapat kata-kata itu?”

“Ini! Kalau kamu ingin memaknai keindahan, baca ini...” Dia menyodorkan sebuah buku puisi lusuh.

“Aku tidak bisa membaca. Nantilah kamu ajari... Sementara, aku memaknainya dengan lagu-lagu.”

Frans tersenyum. Dilemparkannya sebuah kerikil kecil ke tepi sungai. Plung!

Hasan masih meniup mainan barunya. Sejak itu mereka sering menghabiskan senja bersama-sama. Di tepi sungai di bawah asam ranji, bermain harmonika, memandang gadis-gadis cantik di atas sampan yang hilir mudik dari hulu ke hilir. Tanpa berani menggodanya. Hanya irama harmonika dan tatapan mata yang seolah bicara.

***

Hasan kembali ke kampungnya, di kaki Gunung Pangrango. Puluhan tahun hidup di sana, beristri, beranak cucu. Sungai telah mengajarkan banyak hal, tentang kehidupan dan persahabatan. Dia tahu, sungai-sungai banyak yang berhulu di perut gunung. “Tempat yang indah selalu mendatangkan keindahan.” Dia ingat kata-kata itu, dari Frans, teman masa remajanya yang telah pulang ke negara bapaknya.

“Percuma kerjaan kau, San!” kata sebagian orang-orang kampungnya.

“Buang-buang tenaga. Lebih baik kau cari makan buat anak binimu!”

Mereka mengejek Hasan, ketika dia menanami tanaman keras di beberapa tanah tandus di lereng gunung. Namun dia tak patah arang. Bertahun-tahun kemudian tumbuhan itu tumbuh dengan subur. Lereng gunung pun semakin indah, setiap pagi dan senja selalu diselimuti halimun. Hijaunya pegunungan menjadi sumber air bagi sungai-sungai di bawahnya. Hasan melakukan itu, sampai usianya menua. Meskipun dia harus sering bertengkar dengan orang-orang yang lebih suka membabat pepohonan.

Hasan kembali menanaminya, ketika sebagian habis ditebang. Juga ketika sebagian tanah kampung di lereng-lereng gunung itu mulai dijual kepada orang-orang kota. Lalu rumah-rumah persinggahan, vila-vila mewah tumbuh menggantikan pepohonan. Benar kata Frans, pikirnya. Tempat yang indah selalu mendatangkan keindahan. Dulu, keindahan masih alami dengan pepohonan yang menghijau sepanjang lereng gunung yang sebenarnya rawan longsor. Tapi kemudian keindahan berganti, menjadi vila-vila mewah. Keindahan yang kemudian sering mendatangkan bencana.

Tapi Hasan tidak peduli, setidaknya lingkungan sekitar rumahnya masih hijau. Dia selalu menanam, ketika orang-orang kampung lainnya sibuk menebang dan menjual. Maka di antara lereng pegunungan yang meranggas itu, masih ada sisa hutan yang menghijau. Masih mendatangkan keindahan setiap pagi dan petang, saat halimun datang. Dia masih percaya, sebatang pohon masih menyediakan setetes air ke sungai yang mengalir ke hilir. Seperti sebatang pohon asam ranji yang mendatangkan keindahan di masa lalu.

***

“Inilah sungai kita dulu, Frans,” kata Hasan sambil menepuk pundaknya yang ringkih.

“Sungguh tragis nasibnya. Tak ada lagi gadis-gadis bersampan. Kini hanya sampah dan limbah industri yang mengikuti arusnya yang kehitaman. Tak ada lagi aroma minyak wangi dari gadis-gadis Belanda dan Tionghoa itu. Tak ada lagi keindahan. Semuanya berubah menjadi aroma kematian,” Frans bergumam lirih.

“Benar katamu. Setiap musim hujan selalu banjir, entah sudah menelan berapa banyak korban. Sebab beton-beton itu menghambat resapan air. Belum lagi sampah dan limbah.” Hasan menerawang jauh ke kampungnya.

“Sementara di hulu, di lereng gunung, di kampungku pepohonan nyaris habis ditebang. Dijadikan vila-vila milik orang kota juga. Itulah kondisi sekarang Frans, kebijakan pemerintah negeri ini jarang yang memihak alam. Selalu uang dan uang!” kata Hasan kesal.

“Lalu, di mana asam ranji itu?” Frans ingat pohon tua yang dulu selalu mereka datangi setiap senja.

“Kira-kira di situ!” Hasan menunjuk sebuah rumah susun sederhana yang berdiri tepat di tepi sungai. Dari atas, salah seorang penghuninya terlihat melemparkan bungkusan plastik hitam ke sungai. Blung!

Frans tersenyum sinis. Tongkatnya dia hentak-hentakkan ke besi pagar sungai, hingga menimbulkan suara berdenting. Dia memandang sekitar sungai yang terlihat surut dan hitam.

“Selalu banjir, katamu?”

“Ya, begitulah... Kota ini drainasenya buruk, buruk sekali. Sementara di hulu, di lereng gunung itu, pepohonan yang menjadi sumber cadangan air dan resapan air selalu berkurang. Kalau hujan Frans, dan di hulu memang sering hujan. Air langsung menderas ke sini, ke kota ini. Banjir, dan itu bisa beberapa kali setahun.”

Frans manggut-manggut. “Tapi setidaknya kau sudah berusaha menjaganya kan?”

“Itu tidak cukup berarti. Sebab yang merusak jauh lebih banyak!”

Lalu Hasan melemparkan lima biji asam ranji ke sungai.

“Siapa tahu masih mau tumbuh,” katanya sambil tersenyum.

Kemudian mereka menyusuri tepi sungai itu sejauh beberapa puluh meter, sebelum kembali ke hotel tempat Frans menginap. Malam semakin larut, dua lelaki tua itu juga larut dalam cerita masing-masing, tentang takdir masing-masing. Tak ada lagi suara merdu harmonika, selain lagu-lagu dari kafe-kafe liar di tepi sungai. Berbaur dengan lampu warna-warni, yang di masa lalu masih berupa kunang-kunang di rerumputan dan reranting pepohonan. Arus sungai tetap hitam, sampai langkah kaki mereka hilang di tikungan.***

Bogor, 2007

Monday, August 20, 2007
Cerpen M Badri

Di masa kecil, pernahkah nenekmu bercerita tentang perempuan bergaun keemasan bersampan di bawah purnama? Membelah arus Sungai Siak yang menderas menuju hilir, dari tepi ke tepi. Perempuan itu, kata nenekku, adalah penjelmaan peri yang turun ke bumi karena terpesona pada cerita tentang keperkasaan seorang pemuda yang selalu mengayuh lancang menuju hulu. Melawan arus bukan? Ya, pemuda itu mengayuh lancang sambil memainkan seruling sehingga ikan-ikan yang mendiami sungai ini tersihir dan membantunya berlayar menuju hulu yang tiada ujungnya.

Lalu kenapa peri itu ada di Sungai Duku ini, nenek? Kataku, di masa kecil yang begitu lugu. Peri yang mengejar cinta itu, kemudian terdampar di sini karena setelah bersampan ribuan siang ribuan malam tak juga menemukan si pemuda. Padahal jaraknya mungkin hanya dipisahkan satu purnama, namun arus sungai ini tak juga mempertemukan keduanya. Lalu bagaimana cinta sang peri itu, nenek? Katanya, cintanya ikut terdampar di tepi sungai ini ketika musim kemarau mendangkalkan jarak yang telah dia tempuh. Sampan peri itu, menurut cerita terdampar di sekitar pelabuhan Sungai Duku, yang kini selalu dilayari orang-orang menuju muara. Menuju lautan luas dengan banyak rencana dan tujuan.

Maka, setelah angin bertiup ke segala penjuru, di akhir musim kemarau yang ditandai dengan purnama penuh, tubuh sang peri tiba-tiba hilang seiring dengan turunnya hujan selama tujuh hari tujuh malam. Tubuh itu hilang bersama cintanya kepada pemuda yang sampai kini mungkin masih mengayuh lancang menuju hulu, sampai akhir usianya. Menurut cerita nelayan di masa lalu yang biasa mencari ikan di sungai ini, kadang-kadang saat purnama mereka melihat perempuan cantik berambut panjang bergaun keemasan melintasi sungai ini dari tepi ke tepi, sambil memainkan seruling dengan irama yang teramat syahdu. Menurut cerita juga, mereka kemudian mendapatkan banyak tangkapan, sebab ikan-ikan bermunculan karena terpesona dengan irama seruling sang peri.

“Benarkah cerita itu, Nenek?” kataku dua puluh tahun lalu, ketika suatu malam purnama nenek bercerita, melanjutkan kisah-kisahnya tentang hikayat sang peri yang terdampar di Sungai Duku.

“Cerita tetaplah cerita, kita tidak tahu sebelum membuktikan kebenarannya,” katanya sambil membelai rambutku yang kemerahan karena setiap hari terendam hangatnya sungai Siak. Ya, sejak aku mendengar cerita tentang peri itu, hampir tiap senja aku berenang di tepi sungai sambil menaruh harapan bertemu dengannya. Setidaknya sewaktu menyelam aku menyentuh gaunnya yang keemasan atau rambutnya yang panjang.

***

Purnama barangkali merupakan malam yang dinanti semua orang. Ketika bulan berlayar di atas lautan awan yang berarak mengikuti arah angin. Aku begitu terpesona dengan purnama, mungkin juga karena cerita nenek puluhan tahun lalu yang banyak menceritakan keindahan purnama. Tentang hikayat raja-raja di negeri entah yang selalu berpesta di malam terang itu. Tentang bidadari-bidadari cantik yang mandi di telaga di malam yang sama. Tapi keindahan purnama, kadang teracuni juga oleh cerita-cerita drakula atau siluman serigala yang sering kulihat di layar kaca.

Aku tidak akan banyak bercerita tentang purnama kepadamu Ai. Bukankah keindahannya sering kau nikmati di malam-malam sunyi ketika engkau bersampan dengan kekasihmu? Kekasih yang telah meninggalkanmu menuju muara dengan kapal feri, kemudian menyeberangi lautan Melaka yang begitu luasnya. Tapi setidaknya cerita peri itu tidak meracunimu sehingga engkau tenggelamkan rencana dan impianmu di dasar sungai ini. Ya, memang kenangan tidak akan hilang selama kita masih hidup.

“Maaf, kalau aku terlalu banyak bercerita tentang kisah cintaku yang begitu pilu, sehingga kau menyamakanku dengan peri seperti yang kau dengar dari nenekmu,” katanya suatu malam ketika dia kuajak menikmati purnama dari tepi pelabuhan.

“Tidak pernah sama Ai...” kataku kepada perempuan yang kemudian menjadi temanku, setelah perkenalan karena ketidaksengajaan.

“Lalu?”

“Perbedaan antara cerita dengan dunia nyata bisa tidak terhingga, tapi bisa juga sangat tipis. Tergantung bagaimana kita memaknai cerita itu,” kataku sambil memainkan ranting ke permukaan air yang mengalir perlahan-lahan.

“Apakah kamu juga menyukai senja?” kataku.

“Aku dulu sering menghabiskan senja di Danau Buatan bersama kekasihku, eh bekas kekasihku, yang kini pergi bersama cinta palsunya ke negeri yang aku tak pernah tahu. Barangkali, dia sudah bersampan dengan kekasihnya yang lain di danau lain,” dia mengusap air mata yang sebagiannya jatuh ke sungai.

“Senja itu membatasi gelap dan terang, hanya beberapa menit sebelum waktu berganti dan rotasi berputar mengikuti detak jam.”

“Lalu apa hubungannya dengan purnama?” katanya terlihat bingung.

“Renungkan saja...”

“Sok filosofis! Kamu yang benar saja kalau ngomong. Ihhh...”

Aku tertawa lepas, dan membiarkannya hanyut dalam kenangan yang selama ini begitu menghantui mimpi-mimpinya. Dia ingin melupakan kenangan buruk tentang cinta, tentang kekasihnya yang tiba-tiba meninggalkan rencana yang telah mereka rangkai berdua. Kekasihnya pergi sendirian, dari dermaga ini, mengikuti arah angin dan arus sungai, ketika senja begitu asing dan ganjil. Dia hampir tidak bisa menerima kejadian itu, dan nyaris saja menenggelamkan rencana dan impiannya di dasar sungai ini.

Aku bukan psikolog, kataku suatu ketika. Ketika dia ingin melepaskan beban yang teramat dalam menghunjamnya. Tapi dia terus saja bercerita tentang kisah cinta dan kehidupannya, sampai selesai dan membuatnya bisa tidur dengan nyenyak. Ceritanya seperti sebuah lagu malam yang pilu, selalu diputar berulang kali, sampai gerimis dan angin ikut menuntaskan kesedihannya.

“Aku tidak bisa tidur kalau belum bercerita kepadamu,” katanya dalam telepon suatu malam ketika hujan membasahi kota.

“Kenangan itu hal indah jika kau tak perlu berurusan dengan masa lalu.”

“Tapi aku ingin mengubur kedua-duanya,” dia semakin bersikeras dengan sikapnya. “Sudah sepuluh butir pil kutelan untuk menghapusnya.”

“Sepuluh butir pil? Kenapa tidak bola bilyar sekalian. Ah, kamu jangan berpikiran ngaco, Ai!”

“Nggak kok, cuma lima butir supaya aku bisa segera terbang ke alam mimpi. Lalu aku harus bagaimana?” dia terus menyeracau.

“Masa lalu biarlah berlalu, biarkan dia terbang bersama angin....”

“Bull shit...!”

Begitu juga dengan malam-malam berikutnya, sampai dia memaksa aku kembali bercerita tentang cerita masa kecil itu. Setelah sekian lama menumpahkan segala kisah, kesedihannya mulai hanyut dalam arus sungai yang sebelumnya menghanyutkan harapannya. Dia semakin menyukai malam di dermaga, sambil mendengarkan lagu-lagu sendu, di bawah purnama yang terlihat mengambang di permukaan air. Dia menyukai itu, sambil berharap bertemu dengan peri bergaun keemasan yang mengayuh sampan dari tepi ke tepi.

“Apakah kamu ingin bersampan dari tepi ke tepi juga?” kataku kemudian.

“Gila kamu...! Kenapa tidak kamu suruh saja aku berenang atau menyelam dan berharap bisa menyentuh gaun keemasannya atau rambutnya yang panjang, seperti obsesimu itu? Supaya aku bisa berbagi kisah dan pengalaman dengannya, tentang makna kehilangan. Tapi boleh juga, sesekali aku ingin bersampan dari tepi ke tepi agar bisa menghayati hati peri purnama itu.” Dia mengangguk-angguk.

***

Sudah sepekan lebih perempuan itu tidak ada kabarnya. Atau tepatnya sudah berbulan-bulan. Tiba-tiba dia seperti menghilang. Dua nomor telepon genggamnya tidak ada yang aktif. Ke mana kamu Ai? Untuk bertanya kepada teman-temannya? Aku sama sekali tidak tahu siapa-siapa temannya, juga rumahnya. Pertemanan kami hanya sebatas di telepon dan di atas pelabuhan. Pada malam-malam tertentu, kadang saat senja. Bukankah pertemuan adalah awal dari kehilangan?

“Sesekali buatlah cerita tentangku, kamu penulis cerita kan?” katanya suatu ketika, jauh-jauh hari sebelum dia pergi dan tak pernah kembali.

“Kenapa?”

“Supaya kamu juga bisa menceritakan kepada orang-orang tentang perempuan-perempuan yang kehilangan. Tidak hanya peri bergaun keemasan, tetapi juga tentang aku. Mungkin juga nantinya ada cerita tentang perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib sama.”

Aku tertawa. Tapi dia hanya tersenyum kecut.

“Apakah kehilangan harus ditertawakan? Buatlah cerita ya, tentang aku, pliiis... Aku akan senang sekali bila kisahku kamu abadikan,” dia memohon.

“Mengabadikan kehilangan? Sangat sentimental bukan?”

“Biarlah, biar orang-orang bisa memaknai kehilangan. Sehingga tidak harus bunuh diri atau meratapi sepanjang hari. Kehilangan adalah akhir dari pertemuan. Itu bagian dari realitas hidup yang harus kita jalani. Tinggal bagaimana kita memaknainya.”

Dia terlihat serius. Dilemparkannya sebuah kerikil ke tengah sungai. Plung!

“Okelah, aku akan menceritakannya setelah aku kehilangan kamu. Ha-ha-ha... Bercanda kok. Sejujurnya aku tidak ingin kehilangan kamu, kehilangan cerita-cerita tentang kehilanganmu itu.”

Karena itulah kemudian aku membuat cerita tentangnya. Setelah berbulan-bulan cerita itu baru selesai. Namun aku tidak ingin segera menceritakan kepada orang-orang. Sangat sentimental tapi tidak populer. Seperti pesannya, agar orang-orang tidak harus bunuh diri atau meratapi sepanjang hari. Ke mana dia berbulan-bulan ini? Mestikah dia menghilang agar aku segera menceritakan kisahnya?

Tapi aku yakin dia tidak jauh-jauh dari sungai ini. Sebab dia dulu pernah bilang, ingin selalu dekat dengan sungai Siak. Tapi entah di mana dia sekarang berada, apakah di sekitar Sungaiduku ini juga (tapi aku yakin tidak), di sekitar jembatan Leighton, atau malah ke hilir seperti Perawang, Siak Sriindrapura, Sungaiapit atau di Pakning. Dengan kekasih barunya, suami, mungkin juga dengan kekasih masa lalu yang kembali setelah membuatnya kehilangan.

Dengan siapa dia sekarang, itu tidak penting. Yang jelas dia menghilang dalam kondisi hidup, sebab setiap orang yang hanyut di sungai Siak mayatnya selalu terapung. Sebab juga dia pernah bilang, tak perlu bunuh diri atau meratapi sepanjang hari. Maka aku pun kembali sendiri, setiap ingin melihat purnama dari dermaga. Ditemani lagu-lagu sendu yang mengalun dari MP3 player atau telepon genggam. Sambil berharap munculnya peri bergaun keemasan yang berlayar dari tepi ke tepi, meniup seruling yang katanya berirama syahdu.

***

Kepada orang-orang kemudian aku bercerita tentang peri bersampan di Sungai Duku setiap purnama, dari tepi ke tepi. Juga tentang perempuan yang kehilangan. Ada yang pura-pura percaya banyak juga yang tidak. Tapi ini nyata, hampir setiap senja (bukan setiap purnama) aku melihat perempuan setengah baya mengayuh sampan, dari tepi dermaga Sungaiduku ke tepinya yang lain. Kadang sendiri kadang bersama orang lain. Dia mengayuh dan terus mengayuh, sampai keringatnya yang berwarna keemasan karena memantulkan sinar matahari senja, bercucuran. Melawan gelombang dari kapal-kapal besar yang lewat. Atau beradu nasib dengan kedalaman sungai berwarna kecoklatan. Sungai yang kadang bersahabat kadang sangat murka.

Perempuan setengah baya itu, apakah penjelmaan dari peri bergaun keemasan? Atau perempuan kehilangan yang tiba-tiba menjadi tua setelah menyelam saat purnama, lalu terkena radiasi Sungai Siak yang kini dipenuhi sampah dan limbah industri. Ataukah dia bukan keduanya, tapi perempuan perkasa yang sedang mengayuh kehidupan keluarganya. Datanglah ke pelabuhan Sungai Duku, saat senja, dan kamu akan menemukan perempuan itu. Dengan sampan kayu dan sepasang dayung. Datanglah, lalu pandangi keringat keemasan yang mengalir dari tubuhnya...***


Bogor – Pekanbaru, 2007
Tuesday, June 12, 2007

Cerpen M Badri

Kami orang kampung. Nenek moyang kami sejak dulu hidup dan mati di kampung. Hutan belantara dan rawa adalah jiwa kami, nyanyian burung dan lengkingan siamang adalah hiburan setiap pagi dan petang. Untuk sampai ke kampung, orang-orang dari kota harus menempuh jarak ratusan kilometer di jalan batu yang sama kerasnya dengan jalan hidup kami. Lalu menerabas ke dalam hutan yang meliuk-liuk mengikuti irama bukit dan lembah.

Kami berladang karet dan umbi-umbian untuk menyambung hidup yang luasnya sejauh matahari terbit dan terbenam. Ada juga beberapa pohon sialang yang masih setia menampung lebah penghasil madu. Maka setiap bulan purnama kami beramai-ramai pergi ke hutan untuk mengadakan pesta panen madu sambil mendendangkan tetabuhan. Dan anak-anak menari di antara tiang-tiang yang memancang rumah. Memancang tubuh kami untuk tetap lahir, hidup dan mati di kampung ini. Lalu apakah aroma kulit kayu yang hijau harus berubah menjadi anyir darah yang memerahkan kampung?

***

Aku belum lagi selesai mengangkat getah karet terakhir ke dalam gerobak. Tiba-tiba puluhan lelaki tinggi besar mendobrak pintu rumah. Mengacak-acak isinya sambil memaki-maki, menakut-nakutiku juga penduduk kampung lainnya dengan bedil dan parang. Aku bahkan tidak sempat melihat sorot mata mereka, karena tiba-tiba puluhan lelaki itu memukul dan menyereti kami seperti seekor anjing. Aku hanya mendengar anak-anak menjerit dan perempuan menangis, di antara gemeretak kayu-kayu ambruk dan bedil menyalak.

Siapakah mereka? Kami hanya melihat cadar hitam yang menutupi muka mereka. Barangkali di baliknya, ada wajah beringas dan mata liar yang siap membakar apa saja. Karena tiba-tiba api membumbung tinggi dari sebuah rumah, melumat atap rumbia dan menghanguskan dinding-dinding meranti. Sampai di situ kami hanya diam, sebab sejak dulu nenek moyang kami tidak pernah mengajarkan permusuhan.

“Segera tinggalkan kampung ini. Tanah kalian sudah menjadi milik perusahaan!” Seseorang berbadan tegap berteriak sambil mengacung-acungkan bedil laras panjang ke muka kami. “Kalau sebulan mendatang kalian masih di sini, kami akan bakar kampung ini sampai selesai!”

“Tapi ini tanah kami!”

“Sudah turun temurun kami hidup di sini!”

“Hutan moyang kami!”

Dan, “Brakkk.....”

Gagang bedil menghantam muka Datuk Talma. Tetua kampung itu tersungkur dengan darah mengucur, dari hidung dan bibir. Gigi kami gemeretak, menahan amarah. Namun hanya bisa menahan, tanpa kuasa mengeluarkan. Karena kami takut terkena kutuk kalau sampai menyebarkan permusuhan. Kami takut sungai di selatan kampung mengamuk lagi, menggenangi hampir seluruh kampung. Seperti ketika Rustam dan Awang berkelahi sampai satunya mati, beberapa tahun silam. Banjir bandang setinggi atap rumah meratakan semua tanaman yang tumbuh di ladang. Begitulah, kami tidak menyukai permusuhan, seperti kami tidak menyukai kematian dan banjir bandang.

Apakah kami harus diam ketika marwah kami diinjak-injak para pendatang? Mereka telah membabat separuh hutan, melebihi batas areal mereka, membakarnya, dan menjadikannya lahan perkebunan. Padahal nasib kami masih tergantung dengan hutan, pohon sialang, dan lebah madu. Tonggak pembatas selalu berubah dan semakin mendekati perkampungan. Semakin hari hutan kami semakin sempit. Sekarang malah akan menggusur, menguasai kampung yang sudah turun temurun kami tempati.

Kemudian mereka pergi. Meninggalkan luka yang membekas di dada. Tapi kami tetap tidak akan menyebarkan permusuhan. Awalnya, beberapa tahun silam ada perusahaan perkebunan milik kerabat menteri yang membuka lahan di sini. Mereka dengan sesuka hati mematoki hutan dan menebanginya, lalu membakarnya. Kampung kami diselimuti kabut selama 40 hari 40 malam. Betapa sesak dada kami bukan? Tapi kami membiarkannya, karena mereka belum terlalu mengusik. Hanya raungan gergaji mesin yang sayup-sayup sampai ke telinga. Namun entah mengapa, beberapa bulan terakhir ini, kampung ini menjadi bulan-bulanan kekejaman mereka. Mereka ingin menguasai tanah kampung, dan mengusir kami seperti segerombolan babi hutan.

Beberapa hari berselang, keadaan kembali seperti semula. Kami melakukan aktivitas seperti biasa. Ke kebun karet, ke ladang menyemai umbi-umbian, atau ke sungai memancing dan memasang bubu. Malam purnama, anak-anak menari di bawah bulan. Beriring tetabuhan dari kulit rusa yang dikeringkan. Lagu-lagu dan sorak-sorai seolah melupakan kejadian beberapa malam sebelumnya. Kami tak akan pergi, meninggalkan kegembiraan ini, setelah bertahun-tahun menyulami siang dan malam. Seperti mendendangkan nyanyian panjang.

Tangan-tangan saling berpegangan, ada api unggun di tengahnya. Selama beberapa malam, sampai purnama tak lagi bertandang. Lalu senyap kembali menyelimuti kampung kami. Begitulah, setiap purnama masyarakat kampung berkumpul di tanah lapang. Sorak-sorai menyambut para lelaki selesai memanen madu. Makan bersama di tanah lapang. Kebahagiaan kami sederhana bukan? Tapi kenapa orang-orang asing itu mengganggu kami? Dengan parang dan bedil laras panjang.

“Sampai kapan kita bisa menali di bawah bulan abah?”

Putri kecilku, menggelayut di pundakku. Jemarinya yang lentik memainkan rambut-rambut halus yang memanjang di daguku. Di langit, bulan samar-samar mengintai dari balik awan yang memar.

“Kita akan terus menari nak!”

“Tapi ada olang-olang jahat!”

Matanya yang polos memancarkan ketakutan, mungkin juga kebencian. Ada aliran bening yang keluar dari hulu matanya. Dia melihat kilatan api unggun yang hampir habis.

“Mengapa meleka mengamuk di kampung kita abah? Meleka jahat! Jahat! Jahat! Ihhhhh........”

Kakinya dihentak-hentakkan ke tanah, beberapa kali, sampai dia lunglai dan tertidur di bahuku. Mungkin putri kecilku sempat menyaksikan kejahatan orang-orang yang menyerang kampung, beberapa hari lalu, sebelum purnama. Dan ingatannya masih merekam setiap makian, kilatan parang, api yang membumbung tinggi. Terus tersimpan menjadi dendam, meskipun hanya tersimpan. Karena nenek moyang kami tidak pernah mengajarkan permusuhan.

***

Kami terus hidup melewati hari-hari sunyi. Malam terasa asing, karena purnama telah selesai. Hanya gesekan pepohonan yang dimainkan angin, terus menciptakan irama murung ––melodi kampung. Notasi-notasi menjadi begitu kosong, tanpa rima, tetabuhan derita. Apalagi bila kami teringat ancaman mereka, sebulan kami tidak meninggalkan kampung ini, akan dibakar!

Kampung kami tak seberapa besar. Bila orang-orang asing itu datang dan menyerang dengan membabi buta, kami pasti tak berdaya. Apalagi jumlah mereka hampir seimbang dengan banyaknya lelaki dewasa di kampung kami. Karena kami tidak menyukai permusuhan, maka kami tak punya parang untuk berperang, apalagi bedil laras panjang. Kami hanya menyimpan parang untuk menebang kayu dan pisau pemotong getah karet yang kami simpan di kolong rumah. Di antara tiang-tiang pancang yang kami buat tinggi-tinggi, untuk menyimpan hasil ladang. Di sana para perempuan sering berkumpul menyaring madu, lalu di masukkan ke dalam botol dan kami jual di pinggir-pinggir jalan batu yang jaraknya seperempat hari jalan kaki dari kampung.

Mobil-mobil balak yang lewat di jalan batu sering berhenti. Membeli umbi-umbian, getah karet, dan madu dari hutan kami atau sekedar menggoda anak-anak gadis dari kampung kami yang lugu dan pemalu. Kadang kami juga menukar hasil ladang dengan beras dan minyak, kalau kami tak sempat pergi ke pasar yang teramat jauh jaraknya. Kami biasa menumpang mobil balak atau mobil pengangkut buah sawit untuk ke pasar, dengan upah sebotol madu. Roda mobil selalu gemeretak beradu dengan batu-batu di jalan, yang setiap kemarau meninggalkan gumpalan debu. Beberapa anak gadis kampung kami bahkan ada yang dipinang sopir-sopir mobil balak itu, lalu dibawa entah ke kampung mana, dan tidak pernah kembali lagi.

Begitulah, luas kampung kami hanya sejauh matahari terbit dan tenggelam. Hingga tidak terasa, sebentar lagi purnama. Masih adakah sorak-sorai, tari-tarian di bawah bulan? Juga tetabuhan? Karena kedatangan puluhan lelaki tinggi besar berparang dan bedil panjang, sudah hampir sebulan berlalu. Kata-kata kasar mereka kembali terngiang di telinga kami. “Kalau sebulan mendatang kalian masih di sini, kami akan bakar kampung ini sampai selesai!”

Sampai selesai? Apakah itu maksudnya sampai tak tersisa. Lalu di manakah kami akan tinggal? Sudah turun temurun kami hidup di sini. Karena ini tanah moyang kami, hutan yang di wariskan leluhur kami. Kami tidak akan pergi! Kami masih ingin melihat anak-anak menari sambil sorak-sorai, di bawah bulan. Sambil menunggu para lelaki pulang memanen madu dari pohon-pohon sialang, perempuan kampung kami tetap akan menyiapkan makanan. Untuk kami nikmati bersama-sama, sambil mempersembahkan tetabuhan kepada alam yang menyediakan hidup untuk kami.

Kami tetap ingin menari di bawah bulan. Karena itu kebahagiaan kami. Kami tidak akan pergi. Karena sejak dulu moyang kami hidup dan mati di kampung ini. Di langit, purnama mulai mengintai dari balik ranting-ranting pepohonan. Kami kemudian mengumpulkan kayu kering, lalu ditumpuk tinggi-tinggi. Kalau orang-orang asing centeng perusahaan itu datang kembali, mungkin ini menjadi tarian terakhir. Maka kami akan membuat api unggun yang lebih besar dari biasanya. Kami akan menari sepuasnya, di bawah bulan. Indah bukan?

Haaa... Hooo... Heee... Haaaa......

Prakk..!!! Prakk.. !!! Dung..! Dung.. !!!

Prakk..!!! Prakk.. !!! Dung..! Dung.. !!!

Haaa... Hooo... Heee... Haaaa......

Api membumbung tinggi. Bulan purnama merekah, dengan sinar yang memerah. Beradu dengan cahaya api yang menjilat-jilat ke angkasa, seperti lidah raksasa. Tetabuhan terus beradu dari tangan-tangan kekar, beriring sorak-sorai perempuan kampung kami. Tapi tak ada yang menari? Kami duduk dan berdiri dengan cemas, melihat ke setiap penjuru, semak belukar dan kayu-kayu besar. Kami semua memegang parang, yang biasa kami pakai untuk menebang pohon, memotong getah karet, menyayat ikan. Kami tetap siaga, meskipun tetabuhan dan sorak-sorai terus bersahutan.

Siapa ingin menari? Mungkin kami akan membuat tarian kematian, untuk terakhir kalinya, kalau orang-orang itu datang. Meskipun moyang kami tidak pernah pengajarkan permusuhan. Kami hanya menjaga marwah, untuk tetap lahir, hidup, beranak-pinak dan mati di kampung ini. Siapa ingin menari? Hanya lidah api dan cahaya purnama, yang meliuk-liuk dimainkan angin. Siapa ingin menari? Hingga dini hari tak ada yang datang, tak ada tarian......***


Pekanbaru – Bogor, 2005 – 2006

Loktong1

Cerpen M Badri

Masih ada gurat kepedihan di wajahnya yang kuning pucat. Seperti bulan langsat yang berlayar di depan jendela. Melewati gelombang awan yang hitam, berarak menuju utara. Ia teringat dusun di tepi Sungai Yan Tse Kiang yang ditinggalkannya puluhan tahun lalu, dengan kapal dagang yang menyelundup di gelap malam. Selalu ada kenangan yang tak pernah hilang. Angin dingin membisikkan irama terompet penjual mie bakso keliling, sate padang, atau sumpah serapah pemabuk yang tersungkur di tepi jalan. Bau asap rokok, jelaga hio, beradu dengan aroma alkohol kelas bawah yang berserakan di meja. Sisa kecantikan di wajahnya membentuk relief yang hampir sama dengan usia trotoar di bawah jendela.

Ia mendengarkan lagu ngilu perempuan belia di sudut jalan, seperti boneka plastik yang tak henti-henti mengunyah sabun2. Selalu ada cerita, seperti bunga di pot-pot yang dikerdilkan sejarah. Di pemukiman itu, dia tumbuh menjadi perempuan yang nilainya tergantung naik turunnya mata uang. Dibayangkannya seorang pangeran, seperti dalam legenda Dinasti Ming, yang datang dengan pasukan berkuda, mengambilnya dari kastil yang pengap. Tapi di pemukiman yang kumuh ini terlalu banyak pangeran yang datang, membawa cinta dan nafsu kuda. Juga kereta kencana yang terus mendesah setiap melihat bulan memerah di balkon.


Ia tersenyum kecut. “Aku hanya gadis dusun,” bisiknya. “Perjalanan panjang telah membuatku menjadi pesakitan, di ranjang kenikmatan. Aku terus meratapi mimpi yang datang setiap malam. Lampu-lampu diskotek, musik-musik cafe yang menusuk, parade penari telanjang. Mungkin suatu saat aku akan menjadi gumpalan salju yang beku, saat nyala lampion singgah di menara usiaku. Sampai seorang penyapu jalan menemukanku tergeletak penuh lalat di dalam got, dan tak seorangpun mengenaliku.” Ia melemparkan puntung rokok kretek filter yang terbakar sampai ke pangkal, seperti meteor jatuh dari langit Nanking yang sunyi.


Di Nanking, ia pernah lahir sebagai gadis lugu dan pemalu. Bekerja di pabrik pembuat mie yang cukup laku. Gadis tanggung, pipinya seperti bunga puding, tubuh semampai yang dibalut kulit seputih salju. Rambutnya bergelombang lembut bagai aliran Sungai Yan Tse Kiang yang dingin. Hingga datang suatu malam, lima lelaki bercadar hitam menculiknya dari rumah kecil, yang setengahnya mengambang di sungai. Cukup kasar, sampai tirai-tirai bambu berserakan di lantai, berbaur dengan darah ayahnya, setelah tertebas samurai. Irama kecapi dan bunyi lonceng gereja, kemudian menjadi nyanyian luka yang mengabadi.


Kapal dagang tua telah menunggu di pelabuhan. Menyatu dengan rinai hujan dan cahaya bulan yang mengambang dimainkan gelombang. Di dalamnya telah menunggu seratusan gadis sebaya dengannya, tak ada percakapan, hanya mata mereka yang menatap hampa. Ia lalu dimasukkan ke dalam dek, bergabung dengan mereka, juga beberapa lelaki yang terus siaga, menghunus pedang dan senapan. “Sepertinya nasib kami telah ditentukan jarum kompas, arah mata angin, dan kemudi kapal yang terus menembus badai dan hempasan gelombang.”


Berbulan-bulan terombang-ambing di Laut Cina Selatan. Sebelum akhirnya singgah sebentar di Teluk Tonkin, dan merapat di pelabuhan Ha Tinh, Vietnam. Ia bertemu Nguyen, gadis berambut lurus yang juga diculik dari dusunnya, bernasib seperti dirinya. Kapal terus saja mengikuti irama gelombang, menembus luasnya samudera yang tak pernah ia bayangkan, kecuali dalam lukisan bulu yang terpajang di dinding kuil. “Ya, kami kemudian terdampar di pulau ini. Masih terasa asap industri dan kapal-kapal tanker yang melemparkan jangkar berkarat di dasar kelamin kami.”

***

Begitulah, akhirnya para penculik itu menjual kelaminnya setiap ada kapal yang merapat di dermaga. Berbagai warna kulit dan aroma keringat akhirnya ia rasakan, seperti mata tombak yang terus merajam; ia hidangkan seonggok daging bernanah dan ketuban berisi peluru. Suatu ketika mungkin akan menjelma cacing dan kecoa yang selalu terekam di surat kabar. Dan ia akan tertawa mengutuki diri, sambil menelan pil pahit dari langit, yang ia percayai kiriman Dewi Kwan Im. Abad gelap telah pergi?


Di pemukiman itu, wangi dupa dan asap ganja menandai pergantian pagi dan petang. Serupa jarum jam dan detak revolusi yang begitu meriah, karnaval badut-badut bertaring dan pawai lendir di ranjang-ranjang reformasi belum selesai menelan kekalahan. Ia tak pernah mengaku kalah; sampai seribu lelaki meregang nyawa di ujung lidahnya yang beracun dendam. Semak belukar yang tumbuh di rahimnya mungkin akan menebarkan duri, lalu mengalirkan ketuban dengan suhu melebihi lahar dari gunung-gunung berapi.


Parade penari telanjang di atas ring tinju, tubuhnya meliuk seperti ular betina sedang birahi. Dan mata lelaki, mungkin juga suami-suami nyonya, sedang menelan ludah ke dalam kerongkongannya yang sepengap cerobong pabrik. Limbah industri segera meleleh dari mulutnya yang menjelma kelamin ganda. Maka, segera saja radio-radio dan televisi menyiarkan perkembangan virus mematikan yang belum sempat dikarantika di toilet dan kamar mandi kompleks prostitusi.


Sekali lagi ia akan tertawa; melepaskan dendam sebelum ajalnya sendiri tercerabut dari tulang-tulang ringkih, mulut berbusa, dan bereinkarnasi menjadi anjing gila atau serigala. Kemudian setiap malam purnama, saat bulan bugil bulat, dia akan melolong sepanjang trotoar mengikuti awan yang berarak menuju utara. Berharap langit Nanking yang dingin akan membawanya menyelami Sungai Yan Tse Kiang, sampai ke hulu masa kanaknya. Dan ia akan bersujud di kuil sampai jelaga hio yang bersimpuh di telapak kaki Dewi Kwan Im, satu persatu mulai membatu.


Sungguh ia tak pernah mengerti, apalagi memahami peribahasa serangga yang jatuh di kepalanya. Kunang-kunang tak pernah lagi meninggalkan cahaya ketika awan menutupi bintang-bintang yang mengelupas dan jatuh dari langit. Semangkuk sop wortel dan denting kecapi, tinggal kenangan masa lalu yang tanggal dari usia ibunya. Ia selalu ingin mengubur senja ke dalam lambungnya yang dipenuhi rama-rama, kasino, dan jutaan sperma. Lalu segera membangun sebuah monumen di antara payudaranya yang mulai mengendur, seperti sepasang gedung angkuh yang runtuh di tengah kota yang jenaka.


“Dan kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan, membiarkan gumpal darah di gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya mengapa udara berserbuk di antara kita?3 Kubenamkan kepalamu yang bertanduk ke dalam kelaminku, sayang. Kau akan menemukan sejuknya ketuban yang tak pernah engkau rasakan, sebab engkau lahir dari zaman tabung-tabung sintetis. Barangkali juga engkau spesies hasil kloning dengan iblis!”


Ia masih memandang bulan yang rebah di balik Holiday Nite Club. Puluhan kelelawar melengking nyaring, sambil mengepakkan sayapnya, menciptakan irama kematian. Tak ada burung hantu di kota ini. Hanya puluhan hidung belang yang setiap akhir pekan pelesiran menyeberangi Selat Singapura, dengan kapal-kapal feri4. Di sini harga syahwat terlalu murah untuk ditukar dengan keringat sehari, di negeri tetangga. Atau keberuntungan dari enam mata dadu yang terus menggelinding seperti bola rolet, mickey mouse dan togel para pribumi.


Lantai lima rumah susun tempatnya tinggal mulai mengelupas catnya. Tumpukan batu bata terlihat menonjol di antara puing-puing botol bir, sepatu bot, kelamin karet, sabu-sabu, dan puluhan kondom menghiasi dinding yang dipenuhi lukisan Darwin sedang bersetubuh dengan kera. Sepasang cermin terlihat ganjil memantulkan wajahnya. Sebuah wajah kanak-kanak tersenyum lucu, melumat kembang gula sambil mengamati atraksi barongsai di alun-alun kota.


Dia menghitung usia, seperti menghitung jarak dari lantai lima sampai paving block di atas tanah becek, juga kecepatan angin yang akan menghantarkannya pada dermaga terakhir. Jarum kompas, gemuruh motor kapal, dan erangan kepedihan; di sini tak ada lelaki bertopeng dan pedang. Suara-suara gadis tanggung merintih, irama kecapi dan tirai bambu terkoyak mulai menyibak jarak yang teramat tinggi. Adakah Dewi Kwan Im di bawah sana? Ia ingin segera mencium pipinya yang ranum.


Apa berita malam ini? Sepertinya siaran televisi ikut memenggal nyalinya. Lima botol whiskey dan secangkir anggur merah mulai meyusup ke dalam sel-sel darah, menyalakan lampion yang mulai redup di jantungnya. Ia merindukan Laut Cina Selatan yang jalang. Menari di atas gelombang, asyik bukan? Ya, dia mencoba mengingat jalan pulang sambil menghitung uban di atas kepalanya, pulau-pulau di tubuhnya, dan tato naga yang melingkar dari bahu sampai ke pusar.


“Di atas tubuhku, ribuan kapal telah menancapkan sauh! Seperti ladang-ladang pembantaian, mereka memancung kelaminnya sendiri. Banyak bendera penuh warna berkibar dan terbakar, bedil menyalak dan para pecandu tersungkur. Sebab aku telah meniupkan racun di lehernya yang penuh liang luka; perlahan sambil menikmati dendam.”


Ia memungut perih di jendela. Seperti bunga-bunga plastik yang mulai dipenuhi debu. Di bawah, para peronda masih setia dengan rokok kretek yang membatu. Tak ada percakapan yang lebih indah, selain desah nafas yang merajam di balik gorden. Mungkin bom telah meledak di dalam kepalanya, yang dipenuhi ulat-ulat dan virus mematikan. Ia merasakan desir angin yang lembut menuju utara.


Bulan mulai meredup, dan langit jatuh dari ketinggian maya. Dia menghitung kerikil yang mengendap di dalam ginjalnya. Cukupkah untuk membangun patung Dewi Kwan Im yang jelita? Di tubuhnya yang mulai menua. Ia merasa semakin dekat dengan Sungai Yan Tse Kiang yang lembut, juga langit Nanking yang dipenuhi semak belukar dan kelelawar. Tiba-tiba ia merasa sedang terlelap di balai-balai bambu rumahnya. Setelah membunuh seribu lelaki, dengan racun yang berpusat di kelaminnya.***


Catatan:

1 Loktong yang berarti pelacur, dari catatan Hasan Junus di rubrik Rampai, Riau Pos, Minggu, 28 November 2004. Esei sastra yang menceritakan tentang penculikan ratusan gadis tanggung oleh sindikat pelaku kriminal di daratan Cina, untuk dijadikan pelacur di beberapa negara. Konon, mengutip dari tulisan di majalah TIME berjudul “The Sky is Falling”, dampak pelacuran tersebut ikut meningkatkan jumlah perempuan bunuh diri di Cina. Menurut TIME, Cina tercatat sebagai satu-satunya negeri di dunia yang jumlah pembunuhan diri lebih banyak perempuan dibanding lelaki. Esei tersebut juga mengilhami penulisan cerpen ini.

2 Dari cerpen Triyanto Triwikromo “Pelayaran Air Mata”, Koran Tempo, Minggu, 16 Oktober 2005.

3 Bait kedua sajak Goenawan Mohamad “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”, dari buku Goenawan Mohamad: Sajak-sajak Lengkap 1961-2001, Metafor Publishing, 2001.

4 Setiap akhir pekan biasanya para lelaki hidung belang dari Singapura melakukan pelesiran ke beberapa lokalisasi yang ada di Batam.

Friday, June 30, 2006
Cerpen M Badri

terimalah selembar laut, seberkas daun kering
dan pintu segala penjuru. kumaknai luka
tanpa airmata, dan kubiarkan perjalanan menyanyikan
batu karang. jalan-jalan semakin sulit kupahami1)


Tapi aku lelaki gunung, Marina. Sering merenung di taman yang dirubung ilalang dan rerumputan.. Di gunung aku telah tumbuh seperti burung yang menciptakan sarang kebebasan dari dahan dan daun-daun. Berkicau setiap melihat kesetiaan matahari pada pagi, saat muncul dari balik rerimbun pohon-pohon yang telah ditumbuhi kabut. Dengan bahasa lelaki, aku mengepakkan sayap-sayap kecilku di sepanjang lereng yang gersang. Sebab langit senja selalu melukisnya dengan cahayanya yang jingga. Maka aku pun menjadi lelaki petualang yang sering singgah dari kampung ke kampung dari kota ke kota dari pulau ke pulau. Sampai suatu ketika aku merindukan persinggahan terakhir di rembang usia.

Perempuan bermata embun itu terus menatapku. Lentik bulu matanya seperti ingin memantik api yang terus menyala di keremangan petang. Aku masih terdiam, sambil mempelajari setiap gerak bintang yang menebarkan cahayanya di atas langit-langit kamar. Sementara sebagian wajahnya masih bersembunyi di balik layar monitor. Di antara ribuan file yang berserakan, aku masih bisa menyaksikan aura kelembutan yang menggulung seperti ombak di pantai. Namun setiap saat mungkin juga akan menjadi badai––seperti tsunami misalnya.

“Kamu lelaki gunung, petualang yang kutemui tergeletak di atas rak di antara tumpukan buku-buku dan koran minggu. Apakah kamu akan selalu menjadi pencerita yang setiap tengah malam mengirimiku sajak-sajak cinta?” dia mengajakku bercakap-cakap sambil menyanyikan did you ever love somebodynya Jessica Simpson di bawah gerimis yang menciptakan denting irama melengking-lengking.

Aku selalu tersesat di rimba cerita, Marina. Sebuah rimba yang membuat hidupku begitu bergairah untuk sekadar mengatakan gelisah. Ughh.., setiap pagi subuh selalu saja ada sentuhan dingin yang mengurai percikan makna dari mimpi-mimpi yang kuciptakan tadi malam. Lalu sepasang bintang dan sepasang bulan yang kau kirim sebagai pengganti sajak-sajak cintaku mulai tumbuh menjadi sepasang sayap yang akan mengajariku terbang. Sungguh indah bukan? Terbang di rimba cerita dengan sepasang sayap yang terus menyala. Lalu aku akan merangkai irama dari setiap kepakan sayap itu menjadi sajak-sajak cinta baru, yang akan kukirimkan kembali kepadamu agar aku terus mendapat cahaya untuk membawaku terbang.

Kemudian hujan semakin menderas. Perempuan itu mencibir ketika aku mulai menghentakkan tombol-tombol keyboard sambil menyeruput segelas kopi panas. Kunyalakan sebatang rokok, dan dia menyibakkan asapnya yang mengepul di celah-celah aroma kopi yang melindungiku dari dingin. Matanya melotot dan berusaha meniup bara yang menyala di ujung tembakau yang sebagian telah menjadi abu.

“Matikan sebelum mengoyak jantungmu!” hardiknya sambil terus meniup dengan hembusan nafasnya yang memendarkan aroma kembang.

Percakapan belum berhenti. Sesekali dia menebarkan senyuman dari wajahnya yang letih karena selama berjam-jam tidak beranjak dari tempatnya. Aku merenung sejenak dan berusaha mengingat-ingat setiap kejadian yang kulalui ketika menjelajahi gunung-gunung dan sungai sampai ke pulau-pulau dan lembah. Aku lelaki petualang yang ingin singgah dan membangun sarang abadi di rimba terakhir yang kutemui. Dia seperti membaca pikiranku.

“Apa kita seperti sepasang kupu-kupu?” katanya membuyarkan renunganku.
“Mungkin...”
“Kok mungkin!”
“Kita berdua?”
“Ya!”

“Tapi kupu-kupu yang sedang belajar merangkai wanginya kembang,” aku mengulang penggalan sajak yang pernah kuselipkan di antara lembaran mimpinya beberapa malam silam.

“Kata-kata itu lagi. Apa tidak ada yang lain?”
“Yup! Daripada kamu bilang membual.”
“Dasar! Hehehe......”

Kemudian perempuan itu berlalu setelah meninggalkan sepasang bintang sebasang bulan, menjelang tengah malam. Sejenak aku melupakan tugas-tugasku yang masih menumpuk di atas meja. Buku-buku masih berserakan dan beberapa majalah tercerabut dari tempat persembunyiannya yang pengap. Bising suara televisi dari sebelah memberitakan ketegangan di perbatasan Malaysia – Indonesia masalah status Blok Ambalat di Laut Sulawesi, mulai mempengaruhiku. Mendengar cerita lautan aku jadi teringat dengan batu karang. Apakah sebagai lelaki petualang aku akan seteguh batu karang? Sebagaimana nenek moyangku yang setegar gunung-gunung? Ah, aku begitu menyukai lautan terutama yang luas dan lepas. Hanya ada lengkung langit sebagai pembatas. Hanya ada warna pelangi sebagai penghias.

Laut telah mengajarkanku banyak hal. Sejak sepuluh tahun silam ketika aku pertama kali mengenal gemuruh gelombang di Samudera Hindia. Hamparan pasir putih yang memanjang di pantai yang sebagiannya dialiri sungai-sungai. Tapi untuk bertualang aku tidak memerlukan ombak, aku tidak memerlukan angin, aku tidak memerlukan gelombang lautan yang tinggi di mana para petualang dari berbagai penjuru bumi biasa terbang di atas buih memutih bagaikan dewa-dewa laut yang muncul tiba-tiba dari dasar samudera2). Aku hanya memerlukan sebuah perahu untuk menyeberangi tujuh samudera sebagaimana Christopher Columbus, Vasco Da Gama, atau Marcopollo menemukan persinggahan terakhir dalam petualangannya. Tidak dari kayu yang rapuh, aku memerlukan perahu dari pahatan batu karang yang tetap tegar bila diterjang gelombang. Dengan sepasang cadik dan sepasang dayung yang akan kukayuh menyeberangi siang menyeberangi malam.

Tuhan menciptakan bumi ini dua pertiganya adalah lautan, Marina. Meskipun daratan tetap menjadi tempat persinggahan yang mengasyikkan. Namun daratan tidak pernah bisa mengeringkan laut, tidak seperti laut yang dengan kelembutannya mampu menenggelamkan daratan. Seperti cerita Nabi Nuh yang berlayar di atas daratan yang menjelma menjadi lautan. Dengan perahunya yang seteguh batu karang. Mengelilingi gunung-gunung yang tegar dihempas gelombang pasang. Namun ketahuilah gunung juga bisa memperluas lautan. Seperti cerita Krakatau yang membelah sebuah pulau, menciptakan selat yang setiap saat dilalui orang-orang yang bertualang. Dari sanalah aku belajar bahwa kelembutan dan ketegaran sama-sama mampu menjadi sumber kekuatan. Lalu mungkinkah aku menggabungkan sepasang kekuatan dalam petualanganku menuju persinggahan terakhir? Aku sebenarnya masih ingin bercakap-cakap lebih jauh. Namun kamu telah pulang ke balik singgasana malam. Dan aku kembali sendiri dalam kesunyian. Sebuah sajak dengan sepasang sayap yang bercahaya selesai kutulis, saat malam menunjukkan keteguhannya.
***

Bulan sabit diapit sepasang awan di langit....
Dari balik jendela aku menyaksikan kunang-kunang meliuk di atas setangkai kembang. Malam melempar pesan dengan jemarinya yang dingin. Sebuah musim telah menandai setiap perubahan yang diawali dengan pergantian matahari dan rembulan. Waktu terus berputar dalam rotasinya mengelilingi lingkaran tata surya yang sengaja diciptakan untuk menandai setiap pertemuan dan perpisahan. Tetapi akhirnya akan kembali lagi setelah semuanya berjalan dalam petualangan yang indah, menyeberangi siang menyeberangi malam.

Marina, sekali waktu aku ingin menjelma menjadi kunang-kunang. Sebagaimana aku juga pernah ingin menjelma menjadi kupu-kupu. Lalu kita akan membuat sebuah dunia yang hanya ada di malam hari. Kau sebagai setangkai kembang yang mekar saat bintang-bintang merayakan keindahan alam yang ditandai dengan hembusan angin yang dingin. Selepas senja mengelupaskan warnanya di balik reruntuhan cahaya matahari yang pelan-pelan menyinari belahan bumi yang lain. Dan aku akan menyinari kesendirianmu yang paling sendiri. Maka dunia kita akan menjadi dunia yang paling romantis dari segala dunia yang pernah ada.

Kemudian aku hanya mencium semerbak wewangi sambil menyaksikan kuncupmu mulai mekar perlahan-lahan. Sebab cahayaku hanya cukup untuk menyinari kelopakmu saja, Marina. Biarkanlah kembang-kembang yang lain menemukan cahayanya sendiri. Dan malam penantian itu menjadi suatu malam yang tiada tergantikan. Sepasang sayapku akan mendendangnya irama mengiringi sajak-sajak yang kunyanyikan seperti sebuah tembang sepanjang malam. Tapi sudahlah, biarkan aku terus bercerita sendiri di akhir petualangan ini. Meskipun aku tidak tahu apakah kamu bahagia mendengar cerita ini.

“Hentikan bualanmu, lelaki gunung!” tiba-tiba dia muncul ketika aku belum selesai menuliskan kalimat terakhir di halaman terakhir.

“Aku hanya bercerita.”
“Tapi itu kan bualan!”
“Bukan! Tidak semua cerita itu bualan. Tuhan juga tidak pernah membual saat bercerita dalam Alquran.”
“Tapi itu beda!”
“Memang beda, sebab aku bukan Tuhan!”

Dia diam, karena merasa tidak akan pernah menang bila berdebat denganku. Kupandangi wajahnya yang sesejuk embun sedingin batu gunung. Lentik bulu matanya kembali memantik api yang menyala di celah-celah jantungku.

“Lalu kenapa kamu bercerita?” nada suaranya mulai melembut.
“Supaya kamu tidak larut dalam kesunyian.”
“Aku tidak pernah kesepian.”
“Memang. Tapi kamu selalu diam bila aku tidak bercerita.”
“Maksud kamu?”

“Aku lelaki gunung. Aku mempunyai sejuta kisah yang selalu ingin kubagikan kepadamu. Bukankah kamu selalu datang bila aku mulai membuka halaman-halaman cerita? Aku ingin menceritakan kepadamu semua kisah yang kutemui dalam setiap petualanganku. Sebab bila aku mati nanti cerita-cerita itu ikut terkubur bersama jasadku yang sedingin kabut.”

“Apa kamu merasa akan mati, lelaki gunung?”
“Semua yang hidup pasti akan mati sebagaimana yang datang pasti akan kembali. Tapi waktulah yang akan menentukan, sebab kita sendiri juga bagian dari cerita. Endingnya tidak akan pernah tahu, kecuali yang membuat cerita.”

“Lalu kenapa kamu ingin menceritakan kisah-kisahmu kepadaku?”
“Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Mungkin itu bagian dari cerita.”
“Aku jadi bingung!”
“Cerita memang selalu membuat bingung. Kalau tidak, namanya bukan cerita!”

Keningnya berkerut dan matanya menatap tajam ke arahku. Pupilnya berputar-putar seperti sedang mencari sesuatu. Namun aku yakin kalau dia tidak akan pernah menemukan jawaban sebelum menyelami setiap makna dari cerita yang kukisahkan kepadanya.
“Lalu apa lagi yang akan kauceritakan?”
“Aku menginginkan sampan dari batu karang. Dengan sepasang cadik dan sepasang dayung. Lalu ada seikat kembang di dalamnya, yang akan mewangikan petualangan terakhirku.”

“Kok dari batu karang! Bukankah sampan biasanya dari kayu?”
“Biar tetap teguh ketika diterjang gelombang. Karena aku lelaki gunung, yang belum pernah mengarungi lautan luas. Selama ini aku hanya melihat dan mencoba menyelami beberapa selat, namun tak pernah sampai. Aku ingin mengarungi lautan luas untuk mencapai persinggahan terakhirku.”

“Lalu apa yang akan kaulakukan setelah menemukan persinggahan terakhirmu?”
“maka kubiarkan ombak menyampaikan salam dunia
pada menara usiaku3).”
Perempuan itu diam. Aku juga diam. Tak ada lagi percakapan tak ada lagi cerita. Kami berdua hening dalam perenungan yang dingin.***

Pekanbaru, Maret 2005

Catatan kaki:
1) & 3)Mengutip dari sajak Jamal D. Rahman “Kado Ulang Tahun” dalam buku Reruntuhan Cahaya, Bentang Budaya 2003.
2) Menggubah penggalan kalimat dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma “Peselancar Agung” dalam buku Sepotong Senja untuk Pacarku, Penerbit Gramedia 2002.
(Cerita ini ditulis sebagai kado ulang tahun untuk diri sendiri yang ke-24)
Cerpen M Badri

Inilah malam yang dia tunggu-tunggu. Bulan menguning di atas kota. Jalanan belum begitu sunyi, masih ada simphoni penjual jagung bakar sepanjang trotoar. Api sisa pembakaran pun belum meredam. Asap putih masih menari-nari di atas paving block, sebuah tarian melankolis. Lampu-lampu yang membelah jalan begitu hangat menyapa. Beberapa bocah pengamen menghampirinya, menyanyikan lagu cinta yang ganjil. Irama lembut Bethoven terdengar dari sebuah kafe, yang memanjakan pengunjungnya dengan nuansa klasik yang romantis.

Dia kembali menyalakan cerutu yang mulai membeku di bibirnya. Sejak sore, ya sejak rona senja mulai berganti dengan semburat cahaya bulan, dan langit diramaikan bintang, dia telah duduk di sana. Di kursi itu, sambil menunggu. Sengaja dia memilih bangku paling sudut, persis sepuluh tahun lalu. Di sebelahnya, pohon sengon itu juga masih berdiri dengan angkuh. Beberapa helai daun kering yang lembut seperti salju, jatuh di atas meja bundar, juga di atas rambutnya yang basah oleh embun. Sebatang lilin mulai mengelupas dari matanya, yang terus memandang gerbang sebelah selatan.

Dua pekan lalu, wanita yang pernah menjadi kekasihnya ingin menemuinya di tempat itu. Seminggu sebelum malam pergantian tahun. Bukankah itu malam ulang tahun istrinya? Tetapi dia terlanjur berjanji untuk menemui wanita itu, karena hanya semalam dia singgah di kota ini. Setelah sepuluh tahun, setelah suatu malam selepas hujan, wanita itu mengucapkan selamat tinggal, hanya lewat telepon. Kemudian lewat telepon juga, wanita itu ingin menemuinya. Suatu malam, seminggu menjelang pergantian tahun. Dan malam ini juga, tepat tengah malam dia harus di rumah, merayakan ulang tahun istrinya.

“Aku senang kamu masih menungguku.” Dia menoleh dan mendapati wanita itu tersenyum di belakangnya, masih seperti dulu. Nyaris tak ada perubahan, tatapan matanya juga masih sendu. Ada kerinduan yang tersirat.

“Ternyata kamu datang juga,” katanya lalu menjabat tangan wanita itu. Jemarinya tetap lembut, pikirnya. Sama seperti ketika mereka masih bersama, sepuluh tahun yang lalu. Bangku ini juga masih menyisakan kenangan di antara mereka, saat hujan merintik di akhir pekan. Beberapa menit tak ada percakapan. Ada kegembiraan yang mengunci mulut mereka.

“Maaf mengganggumu, kalau istrimu tahu mungkin dia akan marah. Aku kebetulah singgah ke kotamu, jadi kuputuskan untuk menemuimu. Karena besok pagi harus meneruskan perjalanan ke beberapa daerah di Jambi dan Sumatera Selatan,” dia duduk sambil menyilangkan kakinya yang dibalut rok panjang.

“Hmmm.... Tidak apa-apa. Aku senang kita bertemu kembali, meskipun suasananya tidak seperti dulu. Biarlah masa lalu kita berlalu bersama waktu, atau kita tutup dengan rapi.”

Dia menghembuskan nafas dalam-dalam, bayangan wajah istrinya melintas di benaknya. Ada perasaan bersalah. Tapi, dia meyakinkan diri kalau malam ini bukan untuk menyulam kembali benang masa lalu. Hanya pertemuan biasa, sekadar mengingat bahwa di antara mereka pernah ada kenangan.

“Mau minum apa?” katanya sambil memantik korek api ke udara. Seorang pelayan kafe datang dan menyerahkan sederet daftar menu. Malam begitu dingin, sebab seperti biasa di penghujung tahun hujan turun hampir saban hari. Beruntung malam itu cuaca lumayan cerah, sehingga dia dapat memandang wajah bekas kekasihnya itu sambil menghitung daun sengon yang jatuh di meja.

“Lupa ya, makanan kesukaanku?” katanya, tanpa menyentuh daftar menu.
Dia berpikir sejenak, kemudian tersenyum. “Masih pisang bakar dan jus jagung, bukan?”

“Dan kamu masih cappucino plus kentang goreng?”
Kemudian wanita itu tertawa. Dia melihat dua titik kristal bening di sudut mata wanita itu. Sebuah syal warna biru menutupi lehernya yang jenjang. Ada kabut yang membungkus jemarinya, sehingga keinginan untuk menggenggam tangan wanita itu urung dilakukan. Ya, dia tidak ingin rasa bersalah terhadap istrinya semakin bertambah. Wanita itu hanya bayangan dari masa lalu, sedang kini dia telah memiliki wanita yang lain. Di rumah, mungkin wanita yang sangat dicintainya itu, masih mengira suaminya lembur di kantor, sambil berharap kepulangannya menjelang tengah malam. Meniup lilin, memotong kue ulang tahun, dan satu kecupan menjadi hadiah paling indah.

“Kok melamun?”
“Tidak, hanya teringat kenangan kita dulu.” Dia menyembunyikan kegelisahannya. Di sisi lain, dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan malam ini, dengan bekas kekasihnya yang datang dari jauh. Setelah sepuluh tahun tidak ada kabar, kini dia muncul kembali, membawa sebuah kenangan.

“Masih suka menulis puisi?” katanya, sambil menyeruput jus jagung, yang dulu dianggapnya sebagai minuman paling aneh. Tapi kemudian dia sangat menyukainya.

“Sesekali, kalau jenuh dengan rutinitas di kantor.”
“Buku puisi yang kamu kirimkan sebagai kado ulang tahunku dulu, masih kusimpan lho. Buku itu selalu mengingatkanku pada Danau Buatan, Istana Siak, Pelabuhan Sungaiduku, Pelita Pantai, Kafe Black Horse, Jembatan Leighton sampai Bandar Serai ini. Bukankah kamu selalu menuliskan perjalanan kita dengan diksi yang menari-nari? Dan melalui buku itu, aku bisa selalu mengenangnya.”

Dia hanya tersenyum, sebuah kenangan yang terlalu menyakitkan untuk dilupakan, pikirnya. Sebenarnya dia sudah bisa melupakan semua itu, tapi malam ini entah kenapa memori itu kembali hadir dengan jelas, setelah sangat lama tersimpan. Dia memandang langit yang dipenuhi awan berarak menuju tenggara, sedikit menutupi cahaya bulan yang mulai rapat dengan pohon-pohon yang berjajar di pinggir-pinggir kafe.

“Maaf, aku nanti harus pulang sebelum tengah malam. Masih ada waktu satu setengah jam lagi buat kita,” katanya sambil melirik arloji yang detaknya terasa begitu cepat.

“Tidak apa-apa, bisa melihatmu saja aku sudah senang. Kalau istrimu tahu tentang pertemuan kita, sampaikan saja maafku, aku tidak hendak merebutmu darinya. Aku hanya ingin mengenang sesuatu yang pernah begitu membekas dalam hatiku. Bukankah kamu pernah bilang, sesuatu yang indah meskipun tidak berakhir dengan indah, tetap menjadi kenangan yang indah, bukan?”

“Semoga saja tidak tahu, soalnya dia pencemburu. Aku begitu mencintainya, malam ini aku tidak ingin melukai hatinya.” Dia mendesah pelan.

Wanita itu mengangguk. “Sebenarnya aku ingin mengelilingi kota ini, seperti dulu. Maukah kamu menemaniku, sekali ini saja, sekalian mengantarkanku kembali ke hotel?”

“Oke, bukannya besok kamu akan pergi lagi...” Dia bangkit dari duduknya, lalu mengajak wanita itu ke tempat parkir. Kafe di tanah lapang itu mulai sepi, beberapa penjual jagung bakar terlihat berkemas. Malam begitu indah, dalam sebuah pertemuan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dia mengemudikan mobilnya dengan pelan, sengaja membiarkan wanita itu menikmati pemandangan kota yang dingin. Nyaris tak ada percakapan, mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Dia membiarkan wanita itu mengingat kembali kenangannya, pada malam-malam yang lama hilang.

“Kota ini masih seperti dulu, sepanjang jalan dipenuhi lampu-lampu.” Wanita itu merapikan posisi duduknya. “Maaf...” Tanpa sengaja wanita itu memeluk pinggangnya, namun buru-buru ditariknya kembali. Dia menoleh, “Nggak apa-apa, aku tahu perasaanmu...”

Tak terasa mereka sudah sampai di Pasar Bawah. Sebuah bangunan megah berukiran etnik lokal masih berdiri di antara sederetan toko-toko yang menyerupai lanskap kota tua. Lampu-lampu di sisinya berpendaran seperti kunang-kunang tersangkut di tiang-tiang pagar. “Kamu dulu pernah mengajakku ke sini, bukan? Membeli lempuk durian, dodol kedondong, bolu kemojo, dan selembar songket untuk oleh-oleh sebelum aku pulang. Di lantai tiga itu dulu, kamu pernah dengan lembut mengucapkan kata-kata indah ke dalam relung telingaku, sampai aku terbuai dan membiarkanmu menciumku begitu saja. Kamu jahat, tapi kamu juga lelaki paling romantis yang pernah kukenal.”

“Kamu masih mengingatnya?”
“Tentu saja, bukannya kamu kemudian mengukirnya dalam puisi di buku harianku. Masa kamu lupa?”

Dia terdiam, sebab tidak mungkin mengingat setiap kalimat yang pernah dia tulis untuk kekasih di masa lalunya itu. Terlalu banyak kenangan yang harus dia simpan selama sepuluh tahun terakhir. Dan wanita itu datang untuk membongkar kembali segala cerita yang pernah begitu indah dia tulis dan dia lukis dalam sketsa-sketsa abstrak yang terbentang sepanjang jalan di kota ini. Seperti lukisan bangunan tua yang begitu artistik, seperti juga perkampungan-perkampungan di tepi sungai yang terlihat unik. Sebuah kenangan, mungkin juga akan menjadi kisah romantik bila dibebaskan dari luka yang menyertainya.

“Jembatan itu masih teguh juga ya? Hanya bergeming dihempas arus sungai yang menderas sepanjang hari. Kamu masih suka datang ke sini?” Wanita itu membuka kaca mobil yang mulai mengembun. Beberapa deret bangku yang berjejer sepanjang turap sungai terlihat kosong. Meja-mejanya juga hanya berisi kotak tisu dan beberapa botol bekas yang belum dikemas. Ada nelayan termenung di atas sampan yang terombang-ambing di tengah sungai, cahaya senternya memendar di tengah derasnya arus yang bergelombang seperti selendang alam. Menyatu dengan cahaya bulan yang kini menyendiri di langit paling sunyi. Begitu dingin, seperti juga tiang-tiang jembatan yang hanya berupa silhuet.

“Mungkin inilah tempat paling romantis di kota ini. Banyak tulisan yang telah kubuat, inspirasinya bermula ketika duduk di bawah jembatan yang menyerupai gua itu. Seperti juga Grotta Azzura yang begitu mempesonakan penyair August Kopisch, Oscar Wilde, Ivan Turgenev, Maxim Gorki hingga Pablo Neruda dan Sutan Takdir Alisjahbana. Tempat yang indah selalu menyisakan kenangan, bukan?”

Wanita itu menerawang jauh ke seberang. Pikirannya melayang entah ke mana, mungkin juga ke masa lalu, atau ke tempat-tempat romantis yang pernah ia singgahi. Ada aliran bening dari ujung matanya yang ditumbuhi bulu-bulu lentik. “Aku tidak pernah bisa melupakan ini,” katanya sambil membetulkan syal yang hampir jatuh.

Kemudian wanita itu kembali terkenang sesuatu. “Dulu ketika aku datang musim banjir, kamu pernah mengajakku melihat anak-anak yang melompat ke sungai dari atas jembatan itu kan? Mereka begitu ceria menikmati meluapnya air yang hampir membenamkan perkampungan di seberang sana. Kamu hanya tertawa ketika beberapa kali aku memotret tingkah mereka dari jauh. Lalu kamu bilang, dulu waktu kecil kamu juga seperti itu.”

Ujung jari wanita itu menunjuk ke turap yang agak tinggi di kiri jembatan. “Dari sana kamu memotret sepasang kapal yang berlabuh dengan latar belakang langit senja kemerah-merahan. Simpanlah foto itu, katamu, dan hingga kini aku masih menyimpannya. Kamu juga pernah mengabadikan langit senja itu dalam sebuah cerita, yang membuatku cemburu.”

Dia diam saja, membiarkan wanita itu terus bercerita. Tapi perjalanan berlalu begitu singkat. Kemudian dia menjalankan kendaraannya ke Jalan Yos Sudarso dan berbelok ke Jalan Riau. Tak ada lagi percakapan, sampai melewati Jalan Ahmad Yani dan kembali menyusuri Jalan Sudirman yang lengang. “Aku tidak tahu kapan kita bisa bertemu lagi,” kata wanita itu sambil mengusap air matanya yang semakin menderas.

“Semoga pertemuan ini tidak menambah liang luka yang menganga di dada kita. Biarlah kenangan itu seperti angin, seperti rumput kering atau daun yang jatuh dari pohon. Dan kita hanya melihatnya dari jauh, tanpa bisa menghampiri atau menyentuhnya.” Dia terus menyetir sambil sesekali melirik wanita di sampingnya.

“Tapi tetap saja tidak bisa dilupakan, selama masih ada sesuatu yang mengingatkan,” kata wanita itu tanpa notasi.

“Ke mana perjalananmu besok pagi?” Dia menggenggam tangan wanita itu dan mengalihkan pembicaraan, agar tidak semakin terbius kenangan.

“Mungkin ke Jambi dulu. Aku mengantar beberapa teman dari Oxford University yang meneliti suku pedalaman di Pulau Sumatera. Bukan kebetulan singgah ke kota ini, aku sebenarnya sengaja mengagendakan sejak awal. Aku kini disibukkan dengan kegiatan akademis dan penelitian. Seperti itulah diriku sekarang. Kegiatan seni sudah lama kutinggalkan,” katanya tetap memandang lurus ke depan, ke badan jalan yang pernah menyisakan kenangan.

“Sudah sampai.” Mobil berhenti di depan hotel tempat wanita itu menginap. “Mungkin sekarang kita harus kembali kepada kehidupan kita masing-masing. Sampaikan maafku pada istrimu, kalau ia mempermasalahkan pertemuan kita malam ini.”

“Saya masuk dulu, ya. Selamat malam....” Wanita itu mengulurkan tangannya, dan dia memeluknya sejenak. Ada kesedihan luar biasa yang mengunci mulut mereka. Kemudian dia menginjak pedal gas, setelah wanita itu berlalu dan menghilang di lobi hotel.
***

“Iya, ma.... Sebentar lagi papa sampai,” dia menutup telepon genggamnya.
Terbayang di benaknya, istrinya yang anggun datang menyambut di depan pagar. Lalu mengajaknya duduk dengan mesra di ruang tamu, merayakan ulang tahun istrinya, yang pertama setelah mereka menikah. Dua batang lilin dan sebuah kue tart begitu hangat di atas meja. Ada setangkai mawar dan sebuah kecupan, sebagai hadiah paling indah. Dia berusaha melupakan kenangan dengan wanita bekas kekasihnya yang berakhir beberapa menit lalu, di bawah bulan, yang menguning di atas kota. Sampai lonceng jam berdenting dua belas kali.***

Pekanbaru - Bogor, 2005

Cerpen M Badri

SEBUAH kafe di tepi Sungai Siak, suatu senja. Seorang perempuan duduk menyendiri menghadap ke sungai, memandang matahari yang pelan-pelan rebah. Segelas juice di depannya. Matanya menatap hampa pada kecipak air dan butiran buih di tengah sungai. Perempuan itu selalu meneteskan air mata, kemudian menghapusnya dengan sapu tangan. Air mata itu tetap menetes dan dia terus menghapusnya. Berkali-kali sampai kering.

Tak ada yang peduli perempuan itu siapa dan datangnya dari mana. Tapi dia selalu datang setiap senja. Kemudian pulang saat hari gelap, tak ada lagi sisa sinar matahari yang memantul di tubir sungai. Perempuan berambut panjang dan berkebaya warna biru laut. Dia tidak pernah berbicara pada siapapun dan tidak ada orang yang ingin bertanya kepadanya. Biasanya, dia datang lalu pesan minuman dan duduk di sebuah kursi kayu menghadap sungai selama berjam-jam, setelah itu pulang. Besoknya datang lagi ––kecuali saat hujan–– dan melakukan hal yang sama.
***

Seorang lelaki duduk di anjungan pengeboran minyak lepas pantai. Berkawan lautan, ombak dan camar. Lelaki itu memainkan harmonika sambil memandang matahari rebah ke laut. Harmonika melagukan irama puitik, senja terlihat melankolik. Seekor camar menari-nari mengikuti irama gelombang laut yang tak beraturan. Lelaki itu, merindukan kekasihnya yang jauh.

Senja dengan awan dan langit kemerah-merahan, matahari bulat utuh seperti telor mata sapi. Lelaki itu memandangnya seperti memandang lukisan kekasihnya. Setiap menjelang malam tak pernah melewatkan lukisan itu. Sambil memainkan harmonika matanya memandang jauh ke tengah laut. Menembus batas-batas yang tak bisa ditembusnya selama beberapa waktu.

Entah sudah berapa puluh bulan tiap senja dia duduk di anjungan bersama harmonika, gelombang lautan, camar dan langit kemerah-merahan. Selama itu juga kerinduannya seperti magma yang bergemuruh di dalam dada. Beberapa bulan lagi, kerinduan itu akan meledak di kursi pelaminan. Pelaminan? Yah, kursi pengantin yang selalu diidam-idamkan setiap manusia normal yang telah dewasa. Seperti juga lelaki di anjungan itu. Dia berani hidup di tengah lautan ganas yang letaknya dekat perbatasan, untuk mendapatkan uang yang cukup sebagai hantaran ke rumah kekasihnya.

Laut Cina Selatan masih lengang. Beberapa ekor lumba-lumba meloncat-loncat di tengah ketenangan laut. Sementara beberapa pekerja pengeboran yang sedang istirahat asyik nonton televisi dan main kartu. Lelaki itu, tak ada permainan yang mengasyikkan selain memainkan harmonika. Acara televisi tak seindah lukisan senja di hadapannya. Lelaki itu kemudian mengeluarkan selembar kertas lusuh dari saku celananya, membacanya dan tersenyum dengan mata masih memandang langit. Salinan surat yang telah dikirimkan lewat awak kapal tanker pengangkut minyak mentah. Surat untuk kekasihnya yang jauhnya beribu-ribu mil dari anjungan di tengah lautan.

Elvina, senja di lautan ini tetap saja terasa asing. Aku masih juga berkawan dengan ombak, camar, badai, hantu laut dan orang-orang yang bekerja di pengeboran. Aku selalu merindukanmu kekasihku, calon istri dan ibu dari anak-anakku. Lagu kerinduan itu selalu kunyanyikan bersama harmonika yang kamu berikan sebelum keberangkatan. Bukankah engkau pernah berpesan bila aku merindukanmu, aku cukup memainkan harmonika sambil memandang langit senja yang merah kekuning-kuningan itu. Kemudian aku akan melihat wajahmu di sana, terlukis di atas kanvas dirgantara yang membentang di tengah-tengah lautan. Aku memang melihatnya Elvina, calon menantu ibuku. Engkau tersenyum seperti sinar matahari yang merekah menjelang rebah di pelaminan.

Lalu Elvinaku, apakah engkau masih setia menikmati senja di kafe tempat kita dulu sering duduk bersandar sambil memandang kecipak air dan buih-buih sisa gelombang kapal lewat di pinggiran Sungai Siak? Seperti janjimu dulu? bila engkau merindukanku, engkau akan datang ke tempat itu. Menangislah kekasihku, dalam remang-remang matamu cobalah engkau lihat langit dan matahari yang pelan-pelan rebah di ujung sungai. Kamu akan melihat wajahku, seperti aku melihat wajahmu yang dilukis langit di tengah lautan luas ini.

Elvina kekasihku, tunggulah beberapa bulan lagi aku akan kembali. Mewujudkan angan-angan kita dulu, tinggal di rumah idaman dengan lima orang anak yang selalu memanggilmu ‘Bunda’. Seperti janji kita di suatu senja yang cerah di pinggiran Sungai Siak. Di kafe itu, menjelang keberangkatanku dulu, masihkah kau simpan cincin yang kusematkan di jarimu? Tak ada kata-kata yang kau ucapkan, selain air mata yang menderas penuh harapan. Ya Elvina kekasihku, calon istriku, calon ibu dari anak-anakku, aku akan kembali sebentar lagi. Mungkin tidak lama setelah surat ini sampai ke tanganmu, aku akan berangkat. Tunggu aku di pelabuhan, kemudian kita akan melanjutkan cerita yang sempat tertunda. Menunggulah seperti cerita seorang perempuan yang menunggu kekasihnya di Pelabuhan Sungai Duku selama berpuluh-puluh tahun1. Tapi aku takkan membiarkanmu menunggu terlalu lama. Aku sudah merindukan seorang istri yang setiap pagi mengantarkanku berangkat kerja sampai di depan pintu, kemudian sebelum berangkat kukecup dulu keningnya. Ah Elvina, semua seperti dalam cerita-cerita sinetron yang dulu sering kulihat di televisi tetangga. Tapi bukankah kita memang harus belajar dari cerita-cerita yang kenyataannya kadang tak semesra yang kita harapkan. Cerita tetap cerita Elvina, hidup ini juga sebuah cerita yang endingnya kita tak pernah tahu.

Aku tidak dapat menambah kata-kata lagi, rembulanku. Disini tidak ada kecipak air sungai, sampan-sampan dan perdu-perduan yang bisa kujelmakan menjadi huruf-huruf seperti waktu aku menuliskan puisi cinta untukmu. Mungkin sebentar lagi kalau Tuhan menghendaki, semuanya tidak lagi hanya sebatas kata-kata.
***

Perempuan itu lagi, duduk di sebuah kafe menghadap ke sungai. Segelas juice di depannya. Matahari tinggal separoh, sebagian telah tenggelam di ujung sungai. Kabut tipis membungkus langit, namun warna kuning kemerah-merahan masih jelas terlihat membentang di cakrawala. Sepertinya dia mempunyai kenangan dengan tempat itu. Kenangan yang tidak bisa dilupakan, sehingga setiap hari dia harus mengunjungi tempat itu. Sekedar untuk mengenang, menangisinya atau entah apa lagi.

“Saya penduduk baru disini Nona. Saya seorang pelukis bekas narapidana yang dipenjara karena politik. Selama disini saya selalu melihat Nona duduk di kursi ini sambil memandang langit dan sungai kemudian menangis. Tidakkah Nona kehabisan airmata karenanya?” kataku kepada perempuan itu.

Perempuan itu hanya diam seperti tidak mendengar pertanyaanku. Adakah dia tuli, atau barangkali terlalu sombong. Ataukah perempuan itu hanya halusinasiku saja, setelah lelah seharian keliling kota yang kian sesak. Tapi perempuan itu selalu kulihat setiap sore menjelang malam.

“Nona masih muda dan cantik apalagi ada lesung pipit di wajah Nona yang bulat telur. Apakah Nona membiarkan wajah cantik Nona dialiri airmata setiap hari? Sangat disayangkan Nona, kalau sampai terbentuk sebuah sungai di wajah Nona yang halus itu. Sungai yang ada di hadapan Nona saja setiap musim hujan selalu membuat rumah-rumah tergenang. Sangat disayangkan Nona...”

Perempuan itu menoleh sebentar ke arahku dengan pandangan nanar. Hanya sebentar, kemudian dia mengaduk sisa juice yang tinggal setengah dengan pipet di tangannya. Matanya yang bulat terlihat sembab dan agak memerah. Dua kristal bening kulihat tertinggal di sudut matanya, sebelum diusap dengan sapu tangan warna biru. “Nona....”

Aku tak jadi meneruskan karena perempuan itu segera beranjak pergi. Kakinya melangkah pelan di jalan yang memanjang di tepi Sungai Siak, lalu hilang ditelan tikungan. Malam mulai membungkus wajah kota, sebuah jembatan yang membentang kokoh di atas sungai mulai dihiasi lampu-lampu kendaraan. Seperti kunang-kunang yang merayap pada batang pohon.

“Mungkin gadis itu ada masalah dengan ingatannya Dik, hampir setiap hari saya lihat dia merenung di situ dan menangis. Dia tidak pernah bicara. Kami juga nggak enak mau nanya macam-macam,” kata seorang lelaki tua kepadaku.

“Ah mungkin dia tidak gila Paman. Saya kira dia hanya mempunyai sedikit masalah, entah dengan keluarga atau pacarnya. Lihat pakaiannya rapi dan dandanannya juga cantik. Mana ada orang gila yang secantik itu,” kataku.

Memang, perempuan itu bukan salah satu dari puluhan orang gila yang sering kulihat di pasar-pasar dan persimpangan jalan. Perempuan itu cantik, bahkan sangat cantik untuk ukuran gadis di kota ini. Tapi entah kenapa dia membiarkan wajah cantiknya dialiri air mata setiap hari. Barangkali juga dia tetap menangis sesampainya di rumah. Atau mengurung diri di kamar sampai senja keesokan harinya. Kemudian kembali lagi ke tempat ini. Barangkali juga dia seorang karyawati sebuah bank, atau seorang pegawai Pemda. Mungkin juga dia salah seorang caleg mewakili perempuan di partai anu. Atau, entah apa lagi.

Gerimis jatuh satu-satu seperti salju. Tapi langit tidak tertutup mendung. Matahari yang beranjak pulang ke sarang juga masih bulat utuh kemerah-merahan. Senja terlihat melankolik. Dan orang-orang yang menghabiskan sore di warung atau kafe yang berjejer di pinggir jalan tepi sungai bersama teman, relasi, pacar atau mungkin selingkuhan tak ingin beranjak untuk berteduh. Karena memang kristal-kristal bening dari langit itu tidak mengganggu. Seperti juga perempuan itu, yang kini memakai blus warna merah jambu.

Dia masih seperti biasa, duduk di kafe yang sama, dan melakukan hal yang sama. Memandang matahari yang pelan-pelan rebah, menangis dan menghapus air matanya. Kristal bening yang mengalir dari matanya bercampur dengan gerimis. Sehingga tidak bisa dibedakan mana yang airmata dan mana yang air dari langit. Di matanya seperti ada mata air yang setiap hari selalu mengalirkan sungai-sungai kecil.

“Adakah Nona setiap hari selalu dikecewakan sehingga harus menangis di sini. Ataukah Nona sedang menunggu seseorang?” aku mencoba mengalihkan perhatiannya.

Sesaat kemudian dia menoleh. Matanya menatap tajam seperti kurang suka dengan kata-kataku. “Saya tidak sedang kecewa atau menunggu seseorang,” katanya datar. “Apa perlu Anda peduli dengan saya.” Kemudian dia terdiam dan matanya memandang langit yang semakin pucat.

“Mungkin Anda dan orang-orang heran melihat saya setiap hari kesini. Saya kesini hanya ingin melihat wajah kekasih saya. Mungkin Anda juga heran, karena Anda tidak pernah melihat kekasih yang selalu saya lihat. Ini masalah hati.” Dia mengusapkan sapu tangan ke matanya.

“Apakah kekasih Nona tahu kalau sedang Nona perhatikan? Dimanakah kekasih Nona, yang di seberang itu kah?” kataku sambil menunjuk ke seberang sungai, ada beberapa pemuda dan pria setengah baya sedang memancing.

“Langit senja itulah wajah kekasih saya. Saya selalu merindukannya, seperti dia merindukan saya. Dan memang kami saling merindukan. Apa perlu Anda menanyakan itu...”

Selesai bicara perempuan itu lalu berdiri, membayar minuman dan pergi. Aku tetap duduk dan memandang perempuan itu sampai hilang ditelan tikungan. Mungkin besok, lusa, dan lusanya lagi entah sampai kapan dia pasti kembali ke sini. Melihat wajah kekasihnya setiap senja. Wajah kekasihnya yang katanya terlukis di antara matahari dan awan.

Sebuah koran bekas pembungkus jagung bakar tertiup angin dan menyangkut di kakiku. Iseng aku memungutnya, dan sempat terbaca sobekan berita meledaknya sebuah lokasi pengeboran minyak dan gas lepas pantai milik perusahaan joint ventura Amerika-Indonesia di Laut Cina Selatan. Anjungan pengeboran meledak suatu sore menjelang malam akibat kebocoran pipa beberapa saat setelah dihempas badai, tidak ada pekerja yang selamat. Koran itu tertanggal tiga bulan yang lalu.***

Pekanbaru, Januari 2004

1 Tentang perempuan yang menunggu kekasihnya selama berpuluh-puluh tahun, terinspirasi oleh cerpen Hary B Kori’un yang berjudul Tunggu Aku di Sungai Duku.
Cerpen M Badri

Matahari sudah condong ke barat. Aku masih saja berkutat dengan laporan-laporan perusahaan yang harus kuserahkan ke kantor pusat di Jakarta besok pagi. Sebelum jam tiga sore harus selesai ku print-out. Lalu mandi, berkemas dan segera ke bandara untuk reservasi. Cukup dua stel pakaian yang kubawa, ditambah sebuah jas plus dasi. Besok pagi semua laporan harus kupresentasikan di hadapan direksi dan seluruh pimpinan cabang.
***
Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II, menjelang senja.
Aku hanya berangkat sendiri. Dua map laporan perusahaan sudah kumasukkan ke dalam kopor. Tak lupa notebook juga kubawa serta, mana tahu ada data-data yang belum kumasukkan. Sore ini juga aku harus berangkat, tidak dapat ditunda. Aku sudah menelepon hotel langgananku untuk check-in malam nanti.

Lima belas menit lagi pesawat akan berangkat. Seat di sebelahku masih kosong. Alamat aku tak akan punya teman ngobrol, seperti pada beberapa kali penerbangan sore. Hanya menjadi pendengar setia obrolan penumpang yang duduk di depan dan belakangku. Ada obrolan politik, kematian, seks dan entah apalagi. Seperti biasa, telingaku tak ubahnya tong sampah yang siap menerima semua pembicaraan mereka.

Di saat aku sedang menikmati kekecewaan ini, dua orang pramugari cantik melintas di depanku. Di belakangnya seorang perempuan bule berambut blonde agak keriting mengikuti sambil menjinjing tas kecil dan jaket warna hitam.

“It’s your seat miss..” kata pramugari itu.
“Thank’s”

Alamak, ternyata dia dapat seat di sebelahku. Sebelum meletakkan pantatnya di seat, dia tersenyum padaku. “Boleh saya duduk disini?” katanya dengan logat agak cadel, khas bule bila berbicara menggunakan bahasa Indonesia.

“Oh, please…” kataku mempersilahkannya.
“Pakai bahasa Indonesia saja, saya suka dengan bahasa itu,” jawabnya. Aku agak malu, kupikir dia kurang pandai bahasa negeri ini.

Kemudian dia menata duduknya. Diletakkannya tas kecil entah berisi apa––mungkin lipstik, bedak dan seperangkat perabotan wanita––di sampingku. Jaket beludru warna hitam tetap dipangkunya. Seketika harumnya parfum perempuan singgah di hidungku, menyusup ke sel-sel syaraf sehingga menggodaku untuk berlama-lama menikmatinya. Tubuhnya langsing terawat, mungkin dia rajin senam atau sejenisnya. Yang aku tak habis pikir, perempuan bule itu memakai pakaian teluk belanga. Berwarna biru muda dengan renda-renda lembut.

Pramugari mengumumkan kepada penumpang bahwa pesawat akan berangkat. Segera kukenakan sabuk pengaman. Pesawat berdengung disertai getaran-getaran halus. Tak lama kemudian, kami sudah meninggalkan bandara. Mulai menembus sederetan awan yang berbaris di sepanjang cakrawala.

“Hei, Anda melamun,” dia mengagetkanku beberapa saat setelah take-off.
“O..oh, tidak. Anda mau kemana?” kataku agak gugup.

“Mau ke Jakarta juga, lalu terbang ke New York. Oyaa, kita belum kenalan ya?” dia langsung saja mengulurkan tangannya padaku. Tanpa sungkan-sungkan kusambut tangannya yang lembut itu.

“Atan Surya Bersinar.”
“Tania Kinski. Panggil saja Nia. Anda asli orang Riau ya?” kemudian dia melepaskan genggaman tangannya. Padahal aku ingin berlama-lama menjabatnya.

“Iya, orang tua saya asli sini. Saya juga lahir di sini.” Kemudian aku menjelaskan asal usulku. Pekerjaanku dan ihwal kepergianku ke Jakarta. Tak lupa aku keluarkan joke-joke segar untuk menghangatkan suasana.

“Saya juga lahir di Riau, tepatnya di Minas. Dulu orangtua saya kerja di pengeboran minyak milik Caltex. Sejak tahun 1975 mereka sudah di sini. Tapi sekarang sudah pensiun dan kembali ke Amerika,” ucapnya sambil menatapku. Aku agak terkejut juga mendengar pengakuannya. Berarti dia orang Riau juga, yang kebetulan berdarah Amerika.

“Berarti sejarah hidup Anda ada yang tercatat di sini ya?”
“Bukan hanya tercatat, tapi sebagian besar terukir di Riau ini. Saya cinta dengan Riau, walaupun penduduknya banyak suku dan asal usul tetapi saling menghargai. Saya tinggal di Riau sampai umur lima belas tahun. Mau tidak mau saya harus ikut papa pulang ke Amerika.”

“Jadi kesini hanya sekedar reuni.”
“Saya kesini mengunjungi teman-teman dan Bu Siti, guru saya dulu. Dia sudah seperti orang tua saya sendiri, banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan darinya. Tapi sayang, sewaktu saya ke rumahnya di Duri, katanya dia sudah meninggal beberapa minggu sebelum saya sampai kesini,” katanya pelan. Ada raut kesedihan di wajahnya. Matanya sedikit berkabut, seperti langit sore entah di daerah mana yang tertutup awan kelabu. Mungkin matahari sudah tertinggal jauh di bawah sana, ditelan lautan atau sungai yang sedang banjir. Kemudian ada tetesan bening yang mengalir dari matanya yang kebiru-biruan.

“Maaf, saya telah membuat Anda sedih.” Kuulurkan sapu tangan warna biru muda kepadanya.

“Nggak apa-apa, saya memang sedang sedih. Dia sangat berarti bagi hidup saya,” katanya setelah menghapus cairan bening di matanya.

“Sebegitu berartikah sehingga Anda mau jauh-jauh datang dari Amerika hanya untuk mengunjungi bekas guru Anda?” kataku mencoba mengembalikan suasana.

“Iya! Perhatiannya kepada saya melebihi orangtua saya sendiri. Dia banyak mengajarkan adat-istiadat timur kepada saya. Sampai kembali ke Amerika pun kebiasaan itu tetap saya bawa. Saya banyak belajar budaya Melayu dari beliau. Saya pandai tari zapin, serampang dua belas, pakaian ini,” katanya sambil menarik sedikit bajunya. “Mungkin Anda tidak percaya kalau di Amerika sana saya sering memakai pakaian seperti ini. Saya juga mengajari anak-anak di sekitar rumah saya tari zapin. Mereka sangat senang sekali.”

“Hebat sekali. Itukah yang membuat Anda jauh-jauh kemari,” kataku penasaran.
“Betul. Umur saya sekarang dua puluh tiga. Hanya delapan tahun saya di Amerika, selebihnya masa kecil dan remaja saya banyak saya habiskan di Riau. Dulu banyak sekali teman-teman sekolah saya disini. Saya juga senang melihat deburan ombak Selat Malaka, bila ayah sedang off. Kami sering pergi ke Pulau Rupat dan pantai Selat Baru selama beberapa hari. Kadang juga jalan-jalan ke Istana Siak atau sesekali ke Batam dan Tanjungpinang. Banyak foto-foto yang saya bawa ke sana, dan saya perlihatkan kepada saudara-saudara saya. Apa komentarnya, It’s very beautiful… Soalnya mereka taunya Indonesia hanya Bali saja!”

Menarik sekali gadis ini. Aku tak pernah menyangka gadis bule ini pandai tatacara dan budaya Melayu. Mungkin waktu yang telah membentuknya. Percakapan semakin hangat saja. Kami saling berbagi pengalaman dan sesekali diselingi tawa kecil. Mendung dimatanya sudah hilang, begitu juga hujan yang tadi sempat luruh dari matanya sudah terhapus. Hanya keceriaan yang tersisa. Mungkin aku tak akan mengalami hal seperti ini dalam penerbangan-penerbangan berikutnya. Karena setiba di Jakarta dan menyelesaikan segala urusan aku akan kembali lagi ke Pekanbaru. Sementara dia hanya transit dan melanjutkan penerbangan ke New York.

“Bagaimana kabar keluarga Anda di sana? Apakah kerasan tinggal di Amerika!” tanyaku setelah sempat hening beberapa saat.

“Mereka baik-baik saja. Kalau dibilang kerasan bagaimana ya, sepertinya mereka ingin kembali ke Riau juga. Rindu dengan hutan-hutannya. Disana papa membuka peternakan sapi. Kami punya satu rumah yang arsitekturnya di buat seperti rumah-rumah Melayu disini. Papa dulu punya banyak kenalan, ada yang memberikan buku dan memberikan kenang-kenangan desain rumah Melayu. Agak lama juga selesainya, apalagi buat ukiran-ukirannya,” katanya begitu bersemangat.

Tak terasa sudah sekitar dua jam kami ngobrol. Perjalanan sepertinya begitu singkat. Pramugari mengumumkan sebentar lagi pesawat akan landing. Kutawari dia singgah di hotel tempatku menginap. Dia setuju untuk bermalam disana. Karena dia akan berangkat dengan penerbangan pagi. Bandara Soekarno-Hatta masih ramai.

Setelah mengemasi barang-barang bawaan aku memanggil taksi dan segera meluncur ke hotel. “Kabarnya Jakarta sangat rawan ya. Saya dengar di berita sering terjadi pengeboman oleh teroris. Yang jadi sasaran kebanyakan orang-orang seperti aku ini ya?” katanya tanpa mengalihkan pandangannya ke luar. Lampu-lampu kota seperti kunang-kunang yang berterbangan di antara gedung-gedung dan pepohonan. Di beberapa ruas jalan nampak polisi berjaga-jaga dengan senjata lengkap, untuk mengantisipasi kejadian buruk di akhir tahun. Seperti ada perang saja, pikirku.

“Tenang saja, Tania Kinski aman bersama saya,” kataku bercanda sambil mengacungkan tangan dengan posisi mirip orang memegang pistol. Mengingatkanku pada film-film laga buatan negerinya.

“Ah kamu.” Dia mencubit pinggangku. Agak sakit memang, tapi aku suka. Dia tetap memandang keluar. Sesekali berkomentar bila melihat sesuatu yang dianggapnya unik. Kusodorkan kepadanya sekaleng softdrink yang tadi kubeli di bandara. Lagu Honey, I’m Homenya Shania Twain mengalun dari sebuah stasiun radio yang dihidupkan sopir taksi. Jakarta masih sibuk dengan hiruk pikuk kendaraan. Sesekali gelandangan melintas di pinggir jalan.

Melintasi ruas-ruas jalan di Jakarta––apalagi malam hari––membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku membayangkan seandainya ada bom meledak di depanku. Lalu menghancurkan tubuhku dan tubuh Tania, mungkin juga sopir taksi. Tentunya penerbangan sore tadi menjadi penerbangan terakhirku. Atau kalau-kalau ada penjahat kapak merah yang menggedor kaca taksi saat berhenti di lampu merah, ih ngeri!

“Hai, melamun lagi ya!” Sikutnya disentakkan ke dadaku.
“Tidak. Hanya membayangkan seandainya…” Aku tak jadi meneruskan perkataanku. Jangan-jangan kalau kuteruskan dia malah merasa tidak nyaman.

“Seandainya apa?” serangnya.
“Eeh, seandainya kita bisa sering-sering bertemu.” Aku mencoba berbohong.
“Teruuus!”
“Yaaa, asyik aja!” Dia hanya tertawa.

Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 lewat saat kami sudah sampai di hotel. Segera kuhampiri resepsionis dan mengganti kamar yang telah kupesan dengan kamar superior double bed. “Kita satu kamar saja ya, biar bisa ngobrol-ngobrol. Aku belum ngantuk juga. Jangan kuatir aku takkan bergerilya,” kataku memastikan.

“Okey. Semoga menjadi malam yang menyenangkan.” Dia nyengir kuda.
Kemudian kuangkut barang bawaan yang tidak seberapa banyak, selebihnya dibawakan room boy yang mengantarkan ke kamar kami. Segera kurebahkan badan ke kasur hotel yang empuk. Kulepas baju dan kuganti dengan kimono yang telah disediakan. Tania juga begitu. Ranjang tidak jauh terpisah, sehingga kami bisa ngobrol sambil rebahan.

“Kapan lagi kamu datang kesini?” tanyaku memulai pembicaraan kembali.
“Entahlah, tergantung situasi. Kalau ada yang membuatku tertarik untuk datang, mungkin bisa sering-sering. Tapi delapan tahun aku di Amerika, pikiranku sepertinya masih disini. Aku terlalu cinta dengan Riau, apalagi budayanya. Sehingga aku sulit sekali beradaptasi dengan lingkungan baruku di Amerika sana.” Matanya menatap tajam ke arahku. Seperti ingin menembus jantungku dan mencari sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Aku balas menatapnya, mungkin dengan tatapan yang sama.

“Baguslah! Pernah nggak kamu berpikir untuk menetap di sini.”
“Ada juga sich. Tapi aku sulit berpisah jauh dengan keluargaku. Aku sangat sayang dengan papa mama. Tapi aku juga sering rindu dengan tempat kelahiranku. Pernah kan kamu ke Sungai Siak? Dulu waktu kecil aku sering diajak papa naik perahu menelusuri tepi sungai sambil memancing atau sekedar menghabiskan beberapa roll film. Indah sekali bukan? Tapi itu hanya kenangan. Ingin rasanya aku kembali mengulang masa kecilku dulu. Kami dulu juga mempunyai kandang binatang yang banyak ditempati beberapa hewan tidak buas. Kebanyakan binatang itu pemberian orang-orang Sakai teman papa yang kebetulan mendapatkannya di hutan. Di Amerika aku hanya menemukan hal itu tadi dalam mimpi.”

Suaranya agak lirih. Matanya juga kelihatannya mulai redup. Malam ini dia harus istirahat, karena besok akan menempuh perjalanan jauh. Pergi ke belahan bumi lain yang jauhnya beribu-ribu mil. Aku juga harus istirahat supaya besok pagi lebih fit saat melakukan presentasi. Segera kumatikan lampu kamar dan kuganti dengan lampu tidur yang remang-remang. Samar-samar kulihat ada butiran bening menetes di pipinya, tapi segera dihapusnya sewaktu dia tahu aku melihatnya.

“Ingin mimpi apa kamu malam ini?” tanyaku sambil membetulkan letak selimut.
“Yang jelas aku ingin lokasi mimpiku di Riau!” dia menjawab sekenanya.
“Boleh aku numpang dalam mimpimu?”
“Itu yang aku harapkan!”
“Sampai jumpa dalam mimpi!”
***

Atan, awal bulan depan aku akan kesana. Papa mama mengijinkanku tinggal di Riau beberapa lama. Mereka juga menyarankanku untuk membeli sebuah rumah di sana. Supaya mereka juga bisa sering-sering datang ke Riau. Kalau bisa tolong carikan ya, yang dekat dengan Danau Buatan. Supaya setiap hari aku bisa melihat riak air danau dan pepohonan hijau di sekitarnya. Kebetulan rumahku disini juga dekat danau. Bila aku rindu pada keluargaku dapat diobati dengan melihat riak danau dengan buih-buih halusnya. Mau kan kamu menerima kehadiranku? Begitu salah satu dari ratusan e-mail yang ditulisnya sejak setahun yang lalu.

Bukan hanya mau tapi itu yang kuharapkan, pikirku. Awal pertemuanku dengannya di dalam pesawat yang membawaku ke Jakarta setahun yang lalu masih membekas hingga kini. Hari menjelang senja, kulihat matahari pelan-pelan hinggap di pucuk-pucuk akasia depan rumahku. Sinarnya menembus sampai ke dinding-dinding kamar dan menghadirkan sebuah silhuet keemasan. Aku akan menjemputmu di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Segera kubalas e-mailnya.***

Pekanbaru, Desember 2003
Cerpen M Badri

PELABUHAN Tanjung Priok, pertengahan 1998, suatu senja.....
Peluit kapal menggema di seantero dermaga. Orang-orang sibuk mencari tempat duduk di dalam dek kelas ekonomi. Sebagian lagi memilih menggelar tikar dan duduk melingkar. Di antara gemuruhnya orang-orang yang hendak berlayar ke tanah seberang, aku berdiri bersandar di anjungan kapal. Matahari pelan-pelan terbenam di ujung lautan, meninggalkan cahayanya yang keemasan. Sekilas menyerupai sebuah lukisan, lengkap dengan burung-burung, pulau-pulau kecil, dan beberapa perahu nelayan. Langit Jakarta dari kejauhan masih terlihat berkabut. Masih ada sisa-sisa asap dari bangkai gedung-gedung yang dibakar. Sementara aroma mesiu dan gas air mata masih lekat tercium di jaket kulit yang kupakai. Ada juga sedikit bercak darah yang masih menempel di kerah bajuku, darah seorang teman yang beberapa hari lalu terkapar di tengah jalan.

Dalam beberapa menit lagi aku akan meninggalkan Pulau Jawa. Pulau kecil berpenduduk sesak yang lima tahun sebelumnya kudatangi. Namun di pertengahan bulan yang penuh darah, penuh asap, dan bertabur kembang melati ini harus aku tinggalkan. Telepon dari Ayah yang mengabari Bunda sakit keras mengharuskanku pulang ke Sumatera. Bunda jatuh sakit setelah mengetahui berita-berita kerusuhan dari televisi. Puluhan orang mati terpanggang, dan ratusan demonstran terkapar di jalanan. Tubuh-tubuh bergelimpangan berbalut debu, asap, mesiu dan gas airmata. Sementara genangan darah dari berbagai golongan, suku dan ras tercecer di atas rerumputan dan beberapa ruas jalan. Bunda sakit keras, jantungnya kambuh dan masuk ICU. Aku harus pulang, untuk memastikan kepada Bunda kalau tidak terjadi apa-apa denganku.

“Pulanglah Tan, jangan kuatirkan aku,” kata Mei, kekasihku yang keturunan Tionghoa, suatu senja di bawah merahnya langit Jakarta sehari menjelang keberangkatanku. Airmatanya menderas dari kedua matanya yang sipit. Wajahnya yang kuning langsat berubah kemerah-merahan dan basah.

“Tapi aku mencemaskanmu Mei. Lihatlah orang-orang begitu anarkisnya membakar gedung-gedung dan toko-toko milik nonpribumi. Aku ingin tetap di sini bersamamu Mei. Tapi aku juga mencemaskan Bunda, beliau sakit karena mencemaskanku. Penyakit jantung Bunda gampang kambuh kalau mendengar berita buruk.”

“Aku tidak apa-apa kamu tinggalkan. Aku bisa menjaga diri Tan. Lagi pula aku harus menjaga Papa Mama yang sudah renta dan seorang adikku yang masih kecil. Pergilah, tunjukkan baktimu kepada Bundamu,” dia berkata lirih dengan kepala masih bersandar di pundakku.

“Atau kamu ikut denganku Mei. Sekalian kukenalkan dengan orangtuaku,” ajakku kemudian.

“Tidak Tan, aku harus tetap di sini walau apa pun yang terjadi,” katanya terisak.
Kemudian kami sama-sama diam. Tidak ada percakapan indah yang bisa kami ungkapkan. Tidak ada cerita tentang indahnya tembok raksasa di Beijing yang dibangun leluhur Mei, sementara dia sendiri belum pernah ke sana. Akupun tidak tertarik menceritakan indahnya senja di atas hamparan pasir pantai di kampungku.

Kabut asap samar-samar membungkus tubuh kami. Dan matahari yang pelan-pelan menghilang di balik salah satu gedung yang terbakar, terlihat merah saga. Langit sangat pucat dan dari kejauhan terdengar beberapa kali letusan senapan. Kami tetap diam dengan perasaan hampa. Akhirnya aku harus memutuskan pulang ke Sumatera, meninggalkan Mei di dalam gemuruh kota Jakarta. Tapi aku berjanji akan kembali setelah semuanya selesai. Mei menumpahkan seluruh airmatanya yang tersisa. Aku menampungnya di ruang-ruang batin yang hampa.
***

SUNGGUH aku tidak pernah melupakanmu Mei. Mungkin jarak dan waktulah yang kurang berpihak. Atau kita sedang dipermainkan nasib dan takdir. Sehari setelah pelayaran yang melelahkan itu aku menghubungimu lewat telepon, namun selalu saja tidak tersambung. Sedangkan nomor ponselmu berkali-kali hanya berisi jawaban operator.

Sungguh Mei, aku sangat mencemaskanmu. Sementara di televisi, hampir setiap jamnya kudengar aksi massa semakin beringas saja. Pusat-pusat perbelanjaan dijarah dan dibakar. Tapi berita yang paling mengejutkanku, di antara aksi demonstrasi menumbangkan sebuah rezim, beberapa perempuan etnis Tionghoa mengalami kejahatan seksual. Aku selalu berdoa semoga kamu bukan salah satunya. Aku tahu Mei, menjadi korban perkosaan itu sangat berat. Aku tidak ingin hal itu terjadi padamu, aku berharap dan sangat berharap sekali.

Aku tidak tahu bagaimana menghubungimu. Akhirnya aku menulis surat seminggu sesudahnya hanya untuk memastikan keadaanmu. Namun sebulan kemudian surat itu kembali dengan keterangan dari kantor pos bahwa alamat yang dituju tidak ada. Tapi aku tidak mungkin salah menulis alamat rumahmu Mei. Tanpa dicatat pun aku bisa mengingatnya. Rumah sekaligus toko bercat merah jambu di Glodok. Itu rumahmu Mei, yang hampir setiap Sabtu malam selalu kukunjungi.

Akhirnya aku menulis surat lagi, tetapi beberapa minggu kemudian surat itu kembali dengan keterangan yang sama. Beberapa teman yang coba kuhubungi juga mengatakan tidak tahu–––tapi itu salahku karena aku tidak pernah mengenalkanmu kepada teman-teman di kampus atau di pergerakan. Ingin rasanya aku kembali ke kota itu, yang sebagiannya menjadi abu. Tapi Bundaku selalu tidak mengijinkan. Aku sekarang anak tunggal Mei, maka wajar saja kalau Bunda mencemaskanku. Bunda tidak ingin kehilangan aku, setelah sebelumnya kehilangan Bang Haikal yang gugur setelah pasukannya digempur pasukan separatis di Aceh.

Hari berganti bulan dan tahun. Aku tetap saja tidak bisa melupakanmu. Aku sudah pasrah Mei, semuanya kuserahkan kepada Tuhan. Dalam suatu keremangan senja di atas pelabuhan di kotaku, aku sering memandang rembulan yang malu-malu mulai muncul dari balik sebuah pulau. Di sana banyak sekali perempuan remaja yang menghabiskan sore di sekitar dermaga. Di kotaku Mei, banyak terdapat gadis bermata sipit dan berkulit kuning langsat sepertimu. Tapi tak satupun yang sama denganmu, walaupun ada yang wajahnya mirip kamu, tetapi tetap saja ada yang beda. Kamu memang sangat istimewa Mei, bahkan mungkin sangat istimewa sekali.

Dalam pikiran burukku, mungkin kamu sudah mati dalam kerusuhan itu. Tapi aku sendiri tidak yakin kalau kematian itu yang memisahkan kita. Aku sudah sangat dekat denganmu Mei. Bukankah bila seseorang yang sangat dekat akan meninggal, kita akan diberi firasat. Tapi sampai sekarang ini aku tak pernah mengalami firasat apapun tentangmu, baik melalui mimpi atau kejadian lain. Itulah yang membuatku yakin kamu masih hidup. Tapi ke mana Mei, kamu tidak pernah menghubungiku bila masih hidup. Bukankah aku juga pernah meninggalkan alamat rumahku lengkap dengan RT, RW, nomor rumah dan telepon.

Atau kamu sudah pergi dengan lelaki lain, karena kecewa kutinggalkan di saat suasana sedang tegang. Ataukah kamu telah kembali kepada A Lung, pacar pertamamu dulu ––yang katamu sangat kamu benci karena dia berani berkencan dengan teman sekelasmu waktu di SMU. Pikiran-pikiran itu selalu menggangguku selama hampir enam tahun. Enam tahun Mei, bukan waktu yang singkat. Andai saja kita dulu kawin, mungkin dalam enam tahun ini kita sudah mempunyai anak dua atau tiga.

Walaupun berat aku berusaha melupakanmu juga. Apalagi di kampungku, sebuah kota nelayan di pinggiran Selat Malaka, aku dikenalkan oleh salah seorang pamanku dengan Hamidah. Seorang gadis Melayu yang anggun dan selalu mengenakan kebaya. Dia juga sangat cantik Mei, tapi tetap saja tidak sama denganmu. Bahkan yang kudengar dari Bundaku, perkawinanku dengan Hamidah rencananya akan dilangsungkan tahun depan. Mulai saat ini aku harus melupakanmu dan melupakan segala sesuatu tentang kamu. Liontin gambar naga yang kamu berikan saat ulangtahunku dulu juga harus kubuang, agar aku tidak mengingatmu lagi. Liontin kuno terbuat dari perak yang katamu untuk keberuntungan.
“Simpanlah Tan, walau apapun yang terjadi. Liontin ini warisan turun temurun dari keluargaku untuk diwariskan kepada anak laki-laki. Karena aku tidak mempunyai saudara laki-laki maka ini kuberikan kepadamu. Bersumpahlah untuk menyimpannya Tan, seperti sumpahmu untuk selalu mencintaiku,” katamu waktu itu. Aku teringat kata-katamu. Maka kubiarkan saja liontin ini menggantung di leherku. Kemudian kupandangi bulan di atas lautan itu lekat-lekat. Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu. Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu*).
***

PELABUHAN Dumai, suatu senja di awal tahun....
Aku mendapat tugas dari media tempatku bekerja untuk melakukan peliputan ke Melaka, sebuah kota di tepi selatan Malaysia. Jaringan pengiriman TKI ilegal ke negara tetangga itu menjadi topik liputanku. Untuk melengkapi berita, aku harus melakukan investigasi ke Dumai, Malaka dan terakhir ke Singapura ––yang belakangan ini untuk menelusuri pengiriman TKI ilegal yang melewati jalur Batam. Semua dokumen dan peralatan kerja sudah masuk ke dalam ransel besar yang kugantungkan di punggung.

Beberapa menit lagi kapal akan meninggalkan dermaga. Aku bersandar di anjungan sambil melihat orang-orang yang masih keluar masuk kapal. Di antara ratusan penumpang, sepertinya aku melihat sebuah wajah yang sangat kukenal. Seorang perempuan bermata sipit berambut hitam lurus memakai jeans warna biru. Dia menggendong anak kecil berumur sekitar empat atau lima tahun. Tapi benarkah dia Mei, kekasih Tionghoaku yang selama ini kucari. Lalu anak siapakah yang ada dalam gendongannya. Kupandangi perempuan yang baru saja turun dari dek atas itu lekat-lekat. Wajahnya mirip sekali dengan Mei ku yang dulu, hanya saja agak kurus dan seperti ada lingkaran gelap di matanya. Tapi yang tak pernah kulupa adalah bekas luka di atas alisnya.

“Mei....” Untuk memastikannya, aku mencoba memanggil perempuan itu. Dia menoleh tapi kemudian berlalu. Aku mengejarnya, “Kamukah itu Mei,” kataku setelah sejajar dengannya.

“Siapa Anda? Nama saya bukan Mei, saya Elina,” katanya ketus.
“Nggak, kamu Mei kekasihku. Katakanlah kalau kamu memang Mei, selama ini aku selalu mencarimu,” aku tetap ngotot karena aku yakin dia memang Mei.

“Tidak, saya bukan Mei!” Kemudian dia segera berlalu dan turun dari kapal. Aku mau mengejarnya, tapi petugas dermaga menghalangiku. “Meiiiii....” Teriakanku berbaur dengan suara peluit kapal yang menandakan keberangkatan.

Kapal pelan-pelan mulai menjauh dari dermaga. Dari atas dek kulihat perempuan itu menatap kepergian kapal yang akan mengantarkanku ke Melaka. Dia juga menatapku lekat-lekat. Dalam keremangan senja kulihat perempuan itu menangis, air matanya menderas. Sementara anak kecil dalam gendongannya juga merengek-rengek. Aku yakin kalau dia itu Mei, wajah itu tidak pernah bisa kulupakan. Airmata itu, persis seperti airmata yang enam tahun lalu menderas menjelang kepergianku dari Jakarta. Tapi siapakah anak itu, apakah dia telah bersuami. Ataukah dia salah seorang korban perkosaan dalam tragedi kelabu itu, yang kemudian melahirkan anak dari kejadian yang tidak dia inginkan. Tapi hanya karena itukah Mei meninggalkanku. Kalaulah kamu tahu Mei, aku akan tetap menerimamu apapun yang terjadi. Tapi kapal ini tetap saja berlalu dan semakin menjauh dari dermaga, menembus keremangan senja yang keemasan. Aku tetap tegak mematung memandang pelabuhan yang semakin lama semakin hilang dari pandangan...***

Pekanbaru, Februari 2004

*)Mengutip dari sajak “Asmaradana” karya Goenawan Mohamad.
Cerpen M Badri

Dia memberiku seulas senyuman yang beku. Persis kedua matanya yang menatap dengan pandangan kosong. Tak ada gairah terpancar. Apalagi hasrat untuk saling memagut rindu.

Pertama kali aku mendapatinya di bangku taman, di tepi selatan kota kecil Marvoiann. Udara pegunungan yang dingin membungkus tubuh mungil perempuan itu. Sehingga wajah ovalnya terlihat pucat, seperti tak beraliran darah. Namun aku membaca ada guratan kecemasan di kedua matanya yang bulat persis bola-bola salju. Daun-daun kering nampak tersapu angin yang bertiup dari utara. Lalu mengambang di permukaan kolam kecil tanpa ikan. Sebagian lagi tersangkut di atas jembatan bambu yang menghubungkan dua sisi kolam.

Hari baru pukul lima sore. Namun kabut mulai turun di bentangan bukit-bukit yang tumbuh seperti batu karang berwarna pucat. Dari jendela hotel aku melihat perempuan itu menatap jauh ke lembah. Pandangannya seperti hilang menembus pohon-pohon hijau yang berkilauan tersaput matahari senja. Kebaya birunya meliuk terbawa angin, sekilas mirip sayap burung yang mengepak di antara ranting-ranting pinus yang tumbuh di sekitar taman.

Tertarik oleh keganjilan yang dipancarkan perempuan itu, aku pun bergegas turun dari hotel. Melewati tempat parkir, lalu menyeberang jalan ke arah taman. Namun sial, aku tidak menjumpai perempuan itu lagi. Kupandangi sekeliling taman, tapi tak terlihat siapa pun kecuali tukang kebun di sudut yang agak jauh. Aku tidak salah, di bangku kayu itulah perempuan tadi duduk. Samar-samar aku masih merasakan sisa wangi parfum beraroma melati di sekitar tempat itu. Jelas perempuan itu bukan sejenis gadis bunian kesepian yang sering menampakkan diri pada lelaki yang sedang menikmati kesendirian, sepertiku.

Dengan seribu pertanyaan yang memadati pikiran, aku sengaja berlama-lama di tempat itu. Menikmati sisa cahaya matahari dan udara dingin pegunungan. Secangkir cappucino kupesan dari kafe tenda yang tak jauh dari taman. Aroma kopi Italia itu sejenak melupakanku dari bayangan perempuan berkebaya biru yang meliuk seperti kepakan sayap merpati. Sayup-sayup Beatles terdengar merdu, bergantian dengan Cucak Rawa dan Cindai dari beberapa kafe di sekitar taman. Sendirian aku menyeruput isi cangkir itu sampai habis. Untuk sementara tubuhku terasa hangat menjelang sampai di kamar hotel. Di sana setumpuk naskah menunggu kuselesaikan. Besok malam semua harus sudah siap kukirim ke penerbit.

Sengaja aku memilih Marvoiann yang dingin untuk menyelesaikan tulisan-tulisan yang dipesan penerbit. Karena kebisingan kota selalu saja membuyarkan imajinasiku yang belakangan ini terasa pelit. Namun perempuan sore tadi tetap tak bisa lenyap dari pikiranku. Baru kali ini aku menjumpai perempuan dengan bola mata seperti salju menatap beku. Sejak itu aku selalu menjumpai tatapannya di mana-mana. Di dalam bus kota, di kamar mandi, di kantor, di tempat parkir, di dalam tidur siangku, di dalam layar kaca. Kadang tubuh mungilnya kulihat berlarian di antara rimbun ilalang di belakang rumah. Tangannya mengepak seperti sayap lalu terbang tinggi sekali, menembus gumpalan awan-awan kelam di langit sampai menjadi titik putih yang sangat jauh sebelum kemudian lenyap seiring dengan putusnya lamunan.

***

Pengapnya udara kota akibat kemarau panjang begitu menyesakkan dada. Sinar matahari terasa kering dan tajam bersaing dengan debu-debu yang menguap dari jalanan yang tak pernah sepi oleh lalu-lalang kendaraan. Di sebuah halte yang sempit aku menunggu bus kota yang melaju seperti serigala, meliuk-liuk seperti ular cobra, sambil sesekali mengisap rokok lalu memuntahkan asapnya ke mana saja. Jam hampir menunjukkan angka tiga, tapi matahari belum juga beranjak dari tempatnya semula. Sumpah serapah keluar dari orang-orang yang tak sabar menunggu kedatangan bus kota dari arah utara. Aku tak peduli, dan menganggap itu semua sebuah simfoni dengan berbagai irama. Bukankah perbedaan irama selalu saja menciptakan sebuah komposisi yang indah? I leave the world today mengalun dengan irama remix dari kaki lima penjual VCD bajakan, berbaur dengan teriakan tukang parkir.

Tepat ketika bara terakhir rokok di tanganku terjatuh, bus kota datang dan aku segera ikut melesat menembus jalanan kota yang di kanan kirinya tumbuh ratusan ruko seperti batu bata yang berjejer di samping tungku. Udara di dalam bus kota terasa sumpek bercampur keringat orang-orang yang mungkin baru menyelesaikan pekerjaan di kantor, bengkel, super market, pasar loak atau di mana saja. Namun di antara tangan-tangan yang bergelayutan dan kursi-kursi kusam aku seperti melihat sesuatu, yang sebelumnya juga pernah kulihat. Warna biru dan tatapan beku itu, yeaahh.

Bukankah dia mirip dengan perempuan yang kutemui di taman sebelah selatan Marvoiann yang dingin? Atau mungkin, banyak perempuan di dunia ini yang mempunyai wajah sama dan keganjilan yang sama juga. Dia duduk di bangku paling belakang dan menatap kosong ke luar jendela sebelah kanan. Bola matanya masih juga seperti salju, bulat dan beku. Tapi kali ini agak bercampur keringat yang merembes dari ujung jilbabnya. Mungkin dia tidak tahu kalau aku sudah dua kali melihatnya sebulan ini, di tempat yang berbeda dengan cuaca yang berbeda.

Menatap mata perempuan itu, aku seperti melihat pohon-pohon cemara tumbuh di dalam bus kota. Debu-debu yang menyeruak dari jendela terbuka seperti kabut berhawa sejuk. Dan bukit-bukit membentang sepanjang jalan dengan cericit pipit di dahan. Tak ada ruko, tak ada sumpah serapah, tak ada bau keringat. Namun itu hanya sebentar, semua kembali seperti semula saat kondektur menarik ongkos dan beberapa kali bus berhenti mendadak di beberapa gang menurunkan penumpang. Ketika aku melihat ke belakang, tak lagi menjumpai dua bola mata beku itu. Dia seperti datang dan pergi bersama angin atau debu atau kabut atau ah, aku tak bisa menerjemahkan.

Samar-samar aku masih sempat mendengarkan jingle sebuah iklan produk kosmetik di televisi, “mana putri saljunya?, kamu putri saljunya” sebelum dengkur panjang mengelupaskan bayangan perempuan tadi. Dalam mimpi tidur sore itu, aku seperti berada dalam sebuah taman yang dipenuhi semak belukar dan pohon-pohon tua dengan akar-akar gantung menjuntai sampai ke tanah. Lalu buah-buahan berwarna warni tumbuh seperti dalam sebuah lukisan. Aku duduk di bawah sebatang pohon, hanya bercawat dari daun-daun lebar sambil menikmati sebutir apel berwarna merah. Dan tak jauh dari tempatku duduk, seorang perempuan berkulit putih bersih bersembunyi di balik rimbunan semak-semak manatap beku ke arahku. Rambut panjangnya menjuntai seperi akar pohon yang lembut berwarna hitam mengkilat. Kedua mata perempuan itu bulat seperti salju dan dingin. Sementara unchained melody mengalun dari beberapa arah mata angin, beriringan dengan gemerisik pohon. Perempuan itu berteriak lembut, Adam, Adam, Adam........ Lalu hilang bersamaan dengan terdengarnya adzan magrib dari surau sebelah rumah.

***

Seperti biasa aku selalu menghabiskan malam minggu di sebuah kafe di Bandar Seniman, sambil sesekali mencicipi jagung bakar dan secangkir cappucino. Suara biola dari seberang panggung begitu menyayat mengiringi tarian lima orang perempuan bersayap jerami. Di langit bulan telanjang menampakkan lekuk tubuhnya yang putih kekuning-kuningan. Di sekelilingnya bintang-bintang pucat pasi menahan birahi. Berselimut gumpalan awan yang mengental terbawa angin musim dingin.

Di kafe aku berharap melihat perempuan itu di antara orang-orang yang menghabiskan malam. Dia duduk sendiri menghadap ke arahku, sehingga aku bebas memandangi wajahnya, bola matanya yang seperti salju, tatapan matanya yang beku, dengan diam-diam. Karena memang keanehan yang dipancarkan perempuan itu selalu saja mengusikku. Bahkan beberapa sajak yang kutulis menggambarkan dia, hingga suatu ketika redaktur koran langganan tulisanku mengumpat. “Sajak murahan, ke mana imajinasi gilamu? Dasar phyloginik!!!” Seperti biasa aku hanya tertawa, lalu mengajaknya ke kafe ini juga dan minum kopi bersama.

Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas lewat tiga belas. Teman-teman ngobrolku satu persatu sudah pulang, sebagian mungkin sudah meringkuk dalam pelukan istrinya atau mencari tempat lain dan mabuk sampai pagi. Suara musik yang biasa berdentum seperti kapal pecah tak terdengar lagi. Beberapa gelintir lelaki dan perempuan yang tersisa di bangku kafe masih asyik dengan kepulan asap rokok dan cekikikan genit. Aku masih betah sampai beberapa jam lagi duduk di kursi plastik di bawah pohon mahoni itu, walau hanya sendirian. Mungkin itu lebih baik, dan aku bebas menemukan ide untuk topik utama majalah minggu depan tanpa ada yang mengganggu.

Sebuah taksi warna krem berhenti tepat di samping tempatku duduk. Menurunkan penumpang seorang perempuan dengan gaun warna biru, lalu pergi lagi dengan meninggalkan kepulan karbon monooksida. Perempuan itu lalu memilih bangku kosong dua blok di depanku.

“Susu coklat segelas dan kentang goreng, jangan lupa tissu,” katanya setelah seorang pelayan berbadan subur menghampiri dan mneyodorkan daftar menu yang sudah lusuh. Suara itu terdengar dingin, walau lembut. Jantungku berdetak agak berlebihan saat kulihat dengan seksama, perempuan itu adalah sosok yang pernah kulihat di taman dan di bus kota. Aku tak pernah lupa dengan dua bola matanya. Mungkin malam ini kesempatanku melihat perempuan itu lebih jauh dan menyingkap salju yang turun di balik sorot matanya yang dingin.

“Malam Nona, boleh saya temani,” kataku.
Dia diam lalu nyengir sebentar. Tapi aku keburu duduk di depannya, sehingga mau tidak mau dia mempersilahkanku walau dengan agak terpaksa. Kutawari sebungkus rokok, dan dia menggeleng. Beberapa saat kemudian pesanannya datang. Aku kemudian mengambil sisa cappucino di tempatku semula duduk, lalu kembali lagi. Perempuan itu menyeruput susu coklatnya dan mulai menikmati kentang gorengnya. Dia menyodorkan piringnya kepadaku.

Perempuan itu begitu tertutup, bahkan tak mau menyebutkan namanya. Tapi dia mengaku beberapa waktu lalu pernah pergi ke kota Marvoiann dan sempat menikmati keindahan taman suatu senja yang dingin dan berkabut. Dia salah satu mahasiswi sebuah perguruan tinggi di kota ini yang aktif di NGO yang concern terhadap masalah perempuan dan pembelaan buruh. Dia juga bercerita, beberapa bulan lalu terjadi penculikan beberapa orang aktivis pasca tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh penambangan minyak bumi yang berbuntut pada bentrokan fisik dengan aparat keamanan. Lima orang aktivis dinyatakan hilang, termasuk Alia, perempuan satu kostnya yang berasal dari kota yang sama. Sejak itu dia menjadi pemurung dan berusaha mencari tahu di mana Alia berada, hingga kini. Dia selalu pergi dari kota ke kota, namun tak juga ada berita tentang nasib sahabatnya. Gejala insomnia mulai menjangkitinya, sehingga tubuhnya semakin hari semakin kehilangan gairah. Pandangan matanya juga selalu terlihat sayu, sehingga tak salah bila aku menyebutnya beku dan dingin seperti bola-bola salju.

“Oh, ya.... siapa nama Nona?” aku mengulangi pertanyaan tolol tadi.
“Tak penting...!”
“Jadi saya harus menyebut Nona dengan panggilan apa?”
“Apa saja...!”
“Bagaimana kalau Putri Salju?!” kata-kataku mulai asal-asalan, karena hari sudah lewat malam. Putri Salju? Ah, seperti perempuan dari negeri dongeng saja. Tapi kurasa itu sesuai dengan tatapannya yang beku dan dingin. Juga kedua matanya yang bulat seperti bola-bola salju.
“Terserah...!”

Pekanbaru, November 2004
Cerpen M Badri

Matahari jingga membasuh senja di tepian Selat Malaka. Bulatannya tinggal separoh, pelan-pelan beranjak ke peraduan menjemput malam seperti biasa. Beberapa menit kemudian kejora hinggap di langit yang telah berwarna gelap. Celah-celah anyaman rumbia mencuri sinarnya kemudian membawanya ke meja rumah, tepat didepan wajah Abah yang sedang merenung. Di depannya segelas kopi tanpa gula sudah hampir dingin, tapi Abah belum menyentuhnya juga. Hanya asap rokok kretek murahan yang sedari tadi keluar dari bibirnya.

Sudah seminggu ini kerjaan Abah hanya merenung. Satu-satunya perahu motor butut miliknya yang biasa digunakan melaut membisu dalam tambatan. Abah sedih. Tidak melaut berarti kebutuhan hidup juga harus macet. Tabungan Emak sudah habis untuk mengirim Abang yang kuliah di kota P sebulan lalu. Katanya Abang sedang menyelesaikan tugas akhir kuliah. Tidak lama lagi kata Emak, Abang akan menjadi sarjana. Yah, sarjana! Sebutan terhormat di kampung kami. Kebanyakan sarjana tidak mau pulang kampung. Mereka lebih suka bekerja di kota. Semoga Abang mau pulang kampung. Membangun kampung ini yang tidak maju-maju.

“Kamu juga harus bisa seperti abangmu. Walau kita miskin dan Abah Emak tidak pernah sekolah, tapi anak-anak Emak semuanya harus pandai. Abah dan Emak tidak ingin kalian begini, makanya Abah kerja keras di laut untuk membiayai sekolah kalian. Kalian harus rajin belajar supaya Abah dan Emak tidak kecewa.”

Emak pernah menasehatiku suatu malam menjelang tidur. Walau hanya singkat tapi kata-kata itu membekas dalam ingatanku. Aku ingin cepat besar. Ingin sekolah seperti Abang. Bisa membaca dan menulis. Sekarang? Aku belum lagi genap enam tahun.

Tapi melihat rembulan murung di wajah Abah aku jadi ikut sedih. Bukan tanpa alasan Abah tidak bisa melaut, kenaikan solar beberapa waktu lalu menyebabkan para nelayan di kampung ini tidak bisa mencari ikan. Barangkali ada cukong nakal yang menimbun atau mungkin juga menyelundupkannya ke negeri seberang.

Kalaupun ada solar sekarang ini harganya pasti berkali lipat dari harga biasanya. Sementara harga ikan sangat murah. Kalau dipaksa melaut Abah juga akan rugi. Abah tidak bisa melaut, orang-orang kampung juga begitu. Lautan Malaka yang biasanya begitu akrab dengan Abah kini sunyi. Kapal-kapal motor yang biasa lalu lalang seperti hilang.
***

Sepotong ubi rebus singgah di lambungku. Ditambah dengan segelas teh tanpa gula aku merasa pagi ini bisa memulai hidup. Hidup sebagai kanak-kanak yang belum mengerti benar tentang permasalahan yang sebenarnya sedang kami hadapi. Aku agak senang melihat Abah mulai melakukan aktifitas, namun sorot matanya tak bisa membohongiku, bahwa Abah masih bersedih. Di belakang rumah ia mulai menggerai jala. Menyambung tali yang putus.

Aku duduk dibawah pohon nyiur, tatapan mataku lurus kedepan menembus gelombang yang memercikkan buih-buih putih. Seekor camar terbang mengitari buah kelapa yang mengapung-apung ditengah laut. Masih belum ada kapal nelayan yang melaut. Laut sunyi, hanya hamparan biru membentang sepanjang samudera. Langit juga biru. Aku seperti berada di dalam sebuah lingkaran biru. Camar melengking terbang tinggi, lalu hinggap pada pohon siapi-api.

“Abah belum bisa melaut Nak.”
Suara Emak menyentakkan lamunanku. Lamunan kanak-kanak yang belum lagi tahu perjuangan hidup.

“Tadi surat dari Abangmu datang. Katanya dua bulan lagi kita disuruh datang ke kota P. Mendampingi Abangmu wisuda. Emak bangga Nak, kita yang miskin ini masih bisa menyekolahkan Abangmu sampai selesai. Kamu juga harus begitu. Bisa seperti Abangmu.”

Air mata Emak menetes di pipinya yang cekung. Guratan lembut di wajahnya menampung air bening itu sebelum diusapnya dengan kain. Matahari hanya sebentar membuat kilau wajahnya yang hitam. Pagi ini udara cerah. Aku akan mencari kerang di pantai seperti anak-anak yang lain. Bermain lumpur. Aku harus membantu Emak mencari uang. Umurku belum lagi enam tahun. Aku hanya bisa mencari kerang.
***

Malam hari aku paling suka berdiri di pinggir pelabuhan. Bersandar pada pagar kayu sambil melihat bintang di langit. Seperti kunang-kunang. Kadang aku membayangkan terbang ke atas sana. Lalu mengambilnya satu dan kujadikan lampu dirumah. Mengganti lampu teplok yang menimbulkan jelaga. Kalau tidak ada minyak rumah akan gelap. Bukannya bintang tidak perlu minyak. Selalu menyala setiap malam.

Minyak juga yang membuat Abah tidak melaut. Kenapa kehidupan di kampung ini tergantung minyak. Setiap tahun pasti ada masa orang-orang tidak melaut. Masalahnya tak lain karena harga solar mahal. Kadang tidak ada sama sekali. Aku pernah dengar di sekitar tempat Abang kuliah banyak ladang-ladang minyak. Karena berlebihnya sampai dijual kemana-mana. Tapi kata Abang, harga minyak disana juga mahal. Kadang sulit mencarinya. Aku tidak percaya.

Malam ini bulan purnama. Hari belum lagi tengah malam. Aku sendirian di pelabuhan. Aku paling suka melihat bulan bulat penuh berwarna kuning kemerah-merahan –aku menyebutnya bulan merah. Aku juga sering membayangkan bisa sampai ke bulan. Disana banyak cahaya. Tidak seperti di kampung ini yang gelap. Dengan cahaya terang aku bisa mengaji. Apakah disana juga ada surau?

Aku belum lagi enam tahun. Belum tahu apa itu bulan. Yang kutahu hanya aku paling suka melihatnya pada malam hari. Berdiri di pelabuhan. Siapa tahu pada salah satu kapal yang berlabuh ada Abang yang pulang kampung. Bulan merah di atas pelabuhan itu selalu membuatku bahagia. Sebentar aku bisa melupakan kesedihan karena Abah belum melaut. Kalau Abah melaut kadang aku suka melihat kepergiannya dari pelabuhan ini. Menatapnya sampai lampu kapal hilang ditelan malam. Abah mencari ikan dan pulang membawa uang.

Bulan merah sedikit tertutup mendung. Tapi sebentar kemudian terang lagi. Pada permukaannya seperti ada bintik-bintik hitamnya. Apakah itu rumah orang-orang yang tinggal di bulan? Apakah mereka juga melihat aku disini? Seperti aku melihat mereka. Alangkah bahagianya orang yang tinggal di bulan. Setiap malam diterangi cahanya. Mungkin mereka tidak bisa melihatku. Karena disini gelap. Tidak ada cahaya. Lampu-lampu diesel hanya hidup sampai jam delapan. Padahal kalau banyak minyak bisa sampai jam dua belas. Abah dan Emak tak pernah melarangku main di pelabuhan. Aku senang setiap melihat bulan merah.

Saat air laut mulai pasang dan angin berhembus kencang aku biasanya pulang. Meninggalkan bulan merah sendirian. Cahayanya mengantarkanku sampai kedalam rumah. Sebelum tidur aku masih sempat merasakan cahayanya yang menerobos dari celah-celah atap rumbia. Aku tidur ditemani sinar bulan. Aku juga pernah bermimpi berada di kampung bulan. Disana terang sekali. Orang-orangnya cantik dan tampan berkulit indah. Tidak seperti orang kampungku yang hitam-hitam. Disana juga ada pelabuhan dan orang melaut. Orang bulan melaut tidak pernah memakai minyak. Emak hanya tertawa sewaktu kuceritakan tentang mimpiku di kampung bulan.
***

Aku melihat Abah duduk di beranda rumah kami. Rumah kecil di perkampungan nelayan yang miskin. Rumah panggung berlantai kayu yang sebagian sudah lapuk. Pohon bakau tumbuh subur di sekitar rumah. Kepiting kecil banyak yang bermain-main disana.
“Abah masih belum melaut Mak?”
“Belum lagi Nak.”
“Kapan Abah melaut Mak.”

“Entahlah. Emak pun tak tahu. Tadi pagi Penghulu Marjikin katanya nak ke kecamatan. Mau menanyakan perihal ini. Apa pasal hingga setakat ini tak ada solar. Inilah susahnya hidup di kampung pinggiran Nak. Kita selalu terpinggir. Makanya kamu cepat besar dan sekolah seperti Abangmu. Kalau kamu pintar hidup tidak akan begini.”

Emak menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Di wajahnya terlihat guratan kesedihan. Matanya menatap gelombang pasang. Deburan ombaknya menggetarkan dadaku. Abah belum melaut gara-gara tak ada solar. Kejamnya orang-orang yang tidak mengirim minyak kemari. Padahal di darat –sebutan kami untuk kota provinsi-- banyak ladang-ladang minyak. Apa salahnya membaginya kemari. Agar Abah bisa melaut.

“Benar ya Mak, yang dibilang Pak Cik Husin. Katanya di darat banyak sumur-sumur minyak. Sumur-sumur letaknya di ladang-ladang minyak. Iya Mak?”
“Iya benar,” katanya sambil menganyam tikar pandan.
“Ngambil minyaknya pakai ember seperti kita menyambil air ya Mak?”

“Ya tidak. Emak pun tak tahu itu. Tapi kata Abangmu mengambil minyaknya pakai pompa. Sumurnya dipompa. Itu kata Abangmu waktu balek kampung lebaran kemarin.”

“Ooo…….berarti tanah kita kaya ya Mak. Di darat banyak ladang minyak dan di laut banyak ikan.”

“Iya. Tapi kita tetap begini ini. Hidup miskin dan terbelakang. Dapat minyak saja susah, padahal ladangnya tak jauh-jauh amat. Dan… harga ikan murah sekali. Bagaimana kita bisa kaya.”

Emak terus menyulam. Selat Malaka masih juga lengang. Hanya sampan-sampan kecil dan orang memancing yang terlihat. Diatasnya camar terbang meliuk-liuk dan melengking. Langit berwarna biru bermahkota gumpalan awan putih. Cahaya matahari berkilauan menikam dasar laut. Hari cerah sekali. Tapi wajah Abah masih mendung.
***

Malam ini purnama masih singgah di kampungku. Seperti biasa aku duduk di pelabuhan. Walaupun disebut pelabuhan tapi suasananya agak sepi, karena tidak ada orang melaut. Padahal biasanya ramai. Semua gara-gara tak ada solar.

Bulan purnama yang bulat dan merah terlihat agak tertutup awan. Aku bersandar di pagar pelabuhan. Kepalaku menengadah keatas menatapnya. Di sekitarnya ribuan bintang mengelilingi. Bulan merah seperti raja di langit. Apakah disana ada perkampungan dan surau tempat mengaji? Mungkin disana tak ada ladang-ladang minyak karena orang di kampung bulan mungkin tidak perlu solar. Semua sudah terang. Tapi kalau ada, apakah orang bulan mau menjual minyaknya kemari? Naik apa ya. Mungkin tidak bisa. Kampung bulan jauh sekali.

Ditengah-tengah hayalanku tentang kampung bulan tiba-tiba aku dikejutkan oleh seseorang.

“Ehh… Ngape Dikau disini. Sudah malam cepat balek sana. Abah kau cari nanti.”
“Pak Cik Penghulu Marjikin. Dari mane….”
“Pak Cik baru pulang dari kecamatan. Orang kecamatan mau mengusahakan solar. Kalau tidak besok mungkin lusa sudah sampai kemari. Kasih tahu Abahmu nanti. Cepat balek sana, hari sudah malam.”

“Iya Pak Cik. Abah bisa melaut lagi?”
“Iya bilang nanti ya?”
Aku senang sekali. Tapi aku belum beranjak pulang saat Penghulu Marjikin sudah melangkah pergi. Aku masih memandang bulan merah. Deburan ombak Selat Malaka menggetarkanku. Aku senang Abah bisa melaut lagi. Besok pasti Abah akan dapat uang. Mungkin uangnya akan dikumpul untuk ongkos ke kota P melihat Abang jadi sarjana. Abah pasti senang dan Emak juga senang.

Aku masih berdiri di pelabuhan memandang bulan merah di atas kepalaku. Besok mungkin bulan merah tidak nampak lagi. Bulan depan baru datang, kalau cuaca masih cerah. Tapi aku senang, Abah bisa melaut. Saat mendung menutupi hampir separoh bayangannya, aku beranjak pulang. Diantar angin laut yang dingin dengan irama deburan ombak Selat Malaka.***

Pekanbaru, Agustus 2003
Cerpen M Badri

Langit pucat pasi. Hujan yang mengguyur kota selama beberapa hari membuat jalanan becek, terutama gang-gang sempit yang belum tersentuh aspal. Aku sendiri di pojok pelabuhan menyandang ransel kusam. Pelabuhan masih lengang, sebuah kapal kayu terayun-ayun diterpa ombak laut yang keruh. Sampah industri berserakan sepanjang dermaga. Mengapung, kadang tenggelam dan timbul kembali.

Segelas air mineral sudah kuteguk setengah. Menyisakan gelembung-gelembung kecil. Aku masih galau dengan mahluk-mahluk dalam perut yang memberontak. Minta jatah makan siang yang tertunda. Bayangan matahari sore memantul dan menciptakan sebuah silhuet buram.

Haruskah aku pulang ke pulau itu. Lima belas tahun sudah aku tidak pulang, entah bagaimana wujud wajah-wajah beringas itu sekarang. Yang membakar kampung, menjarah barang-barang. Membunuh ibu, memperkosa kakak. Kebetulan aku tak tahu entah siapa dan kemana ayahku. Yang kutahu ibu sudah sendiri sejak aku masih menetek. Yang jelas dia bukan hermaprodit. Mungkin ayah pulang ke negaranya, negara entah yang aku sendiri juga tak tahu.

Aku sendiri disini. Di kota yang sebelumnya tak pernah kubayangkan akan sampai kesini. Pelabuhan ini, dulu masih berupa kerangka-kerangka kayu. Aku diletakkan begitu saja oleh orang kapal yang membawaku. Beruntung Tuhan masih menyisakan sedikit nafas, sehingga aku bisa berjalan menelusuri gang-gang yang tak kukenal. Hingga sampai ke suatu tempat. Persetan dengan tempat itu!

Sebuah lokalisasi. Puluhan kamar-kamar sempit, perempuan-perempuan berdandan minim, lelaki teler, dan desah nafas dengan nada tak beraturan akrab dengan hari-hariku. Aku hanya anak kecil yang dipungut seorang mucikari dan dijadikan tukang bersih-bersih. Mulai kamar tidur sampai kamar mandi. Hanya diupah dengan makan gratis dan sebungkus rokok. Aku sudah mulai merokok sejak berumur entah, aku sendiri lupa. Kadang punya uang hanya bila ada orang yang menyuruh membelikan rokok atau bir atau entah apa, kemudian tak mau mengambil kembaliannya.

Sejak itu aku lebih suka jadi kacung suruhan, karena bisa sering dapat uang. Kadang juga aku ikut minum bareng mereka sambil main dadu. Aku tukang pijit, kadang juga disuruh memanggilkan pelacur untuk menemani mereka. Dari pada dulu, mungkin derajatku naik satu tingkat. Dari tukang sapu berubah jadi kacung –mungkin sama saja. Tubuhku juga mulai kuhiasi dengan tato, gambar naga dan perempuan telanjang. Buatan seorang germo yang mantan perampok. Dilukis dengan tinta biru tua dan di pajang di dadaku. Aku sekarang seorang jantan. Aku mulai berani berkelahi dan main perempuan.

***

Hari sudah senja. Langit semakin pucat saja. Matahari menyisakan sedikit cahaya merah kekuning-kuningan dalam bingkai awan kelabu. Seperti ribuan hari yang telah kulalui di perkampungan itu. Samar-samar dari sudut kedai kopi di pinggir pelabuhan terdengar lagu No Woman No Cry nya Bob Marley. Aku takkan menangis kalau tak karena perempuan. Sum, pelacur pindahan dari pulau seberang itu awal segalanya.

Kapal yang akan membawaku ke pulau itu sudah berangkat. Tiket yang telah kubeli kulempar ke tubir sungai. Mengapung sebentar lalu tenggelam. Aku tak jadi pergi. Biarlah segalanya berakhir di sini, karena mulainya juga dari sini. Di dermaga tempat sekarang aku berdiri. Adzan Maghrib baru saja usai. Seorang perempuan tua menyandang mukena lewat di sampingku. Memandangku dengan tatapan asing, kemudian berlalu. Dia mau menghadap Tuhannya.

Siapa Tuhanku? Aku sendiri tak tahu. Sejak kecil aku tak pernah tahu siapa Tuhanku. Mungkin juga aku dikirim iblis untuk menjadi dutanya di bumi. Di tempatkan di gang-gang lokalisasi, jadi penghuninya, lalu mati, dan dijemputnya ke neraka. Ah Sum sialan itu, dia hanya akan mempercepat kematianku. Aku hanya tinggal menunggu giliran untuk dijemput ke neraka.

Terakhir dia hanya bilang, “Can, kita telah terjangkit virus yang sama. Maaf aku tak sengaja menularimu, aku sendiri juga baru tahu kemarin sewaktu orang Dinas Kesehatan melakukan sidak ke sini. Mungkin itu buah dari cinta kita Can. Cinta terlarang dari calon penghuni neraka. Kutunggu kamu disana….” Kemudian dia tertawa keras, keras sekali. Menggema di sudut kamar sempit berbau apak, kemudian menembus malam. Hilang ditelan gemuruh hujan dan kilatan guntur.

Dua hari kemudian kutemukan dia tergeletak di dalam kamar. Mulutnya berbuih. Dia telah mempercepat kematiannya. Di dinding kamarnya tertulis kalimat besar-besar dengan lipstik warna merah. “AKU BERANGKAT DULU, KUTUNGGU KAMU DISANA. KITA AKAN BERCINTA LAGI”…kemudian dia juga menulis dengan spidol hitam “AKU AKAN PESANKAN KAPLING 2X3 UNTUK TEMPAT KITA BERCINTA”. Norak sekali. Polisi menginterogasiku dan mengurungku selama tiga hari. Karena tak terbukti melakukan pembunuhan, seperti yang sering diberitakan di koran-koran, aku dilepas.

Sekarang di dermaga ini akan kutumpahkan semua. Haruskah aku terjun ke sungai dan tenggelam, lalu mati. Atau menggantungkan leherku di tiang penyangga dermaga, kemudian esoknya ditemukan orang dengan lidah yang menjulur. Ah terlalu mengerikan, jangan-jangan arwahku juga malah akan tersangkut disini.

Kulihat bulan mengapung di sungai. Mengambang dan kadang bergoyang-goyang. Bulan itu hanya sendiri, persis seperti diriku yang tengah duduk di tepi dermaga. Memandang tubir sungai. Air sungai menjadi berkilau keperak-perakan. Cahaya itu menampar wajahku dan menjilati air mata. Ah, baru kali ini aku menangis. Aku takut mati, mungkin juga takut neraka. Pernah kudengar ceramah di televisi, neraka itu sangat tidak enak. Manusia akan disiksa cambuk, gergaji dan benda antah berantah lainnya yang semua terbuat dari api. Mengerikan. Aku tiba-tiba jadi takut mati. Tapi ketakutanku percuma saja, toh kematianku akan dipercepat dengan virus yang bersarang dalam tubuhku.

Ingin aku menghubungi Tuhan, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Aku ingin menumpahkan kesedihanku dan meminta-Nya untuk menunda kematianku. Entah kenapa aku jadi ingat Tuhan, yang sebelumnya tak kukenal apalagi kuingat. Kupencet-pencet tombol di handphone murahan milikku, siapa tahu ada nomor yang bisa menghubungi Tuhan. Percuma, operatorpun mungkin tak tahu Tuhan bisa dihubungi dengan nomor berapa. Kemudian kulempar handphone buruk yang baterainya tiba-tiba ngedrop itu ke tengah sungai. Lemparanku tepat mengenai rembulan yang tengah terapung. Kemudian rembulan itu tercerai berai. Cahayanya yang keperak-perakan berpendaran kemana-mana, sebagian memantul ke arahku dan menamparku. “Sialan, kenapa kau lempar aku,” mungkin rembulan itu memaki.

Beberapa menit kemudian, rembulan yang tercerai berai itu pelan-pelan menyatu. Membentuk bulat utuh dan cahayanya semakin bersinar saja. Rembulan itu semakin dekat ke arahku. Ingin aku mengajaknya menemui Tuhan. Aku mau minta maaf selama ini tak pernah mengenalnya. Aku juga mohon agar diberi grasi tidak masuk neraka. Aku tak mau lagi ketemu Sum, perempuan yang membuatku menangis.

Bulan bergoyang-goyang. Tiupan angin merusaknya. Kadang tampak lonjong, segitiga dan bujur sangkar, kemudian bulat lagi. Mungkin bulan bisa mengantarkanku menemui Tuhan. Bukannya orang-orang kalau menyebut Tuhan kadang dengan ‘Yang di Atas’. Bulan yang mengapung ini juga kadang terbang di langit, bergumul dengan awan dan bintang-bintang. Mungkin bulan dekat dengan Tuhan di atas sana.

Kulepas sandal jepit yang menempel di kedua kakiku. Ingin juga kulepas ransel dan semua pakaianku. Aku akan menemui Tuhan dengan telanjang, persis seperti ketika aku dilahirkan. Cukup aku membawa virus yang ada dalam tubuhku. Tapi tidak jadi, aku takut dibilang tidak sopan. Biarlah kubawa pakaian dan ransel lusuh ini menemui Tuhan. Supaya tahu aku baru pulang dari pengembaraan yang jauh.

Kutunggu sejenak agar bulan lebih dekat ke arahku. Kemudian sebelum berangkat aku akan berdo’a lebih dulu, “Tuhan, lindungilah hambamu agar selamat sampai tujuan dalam perjalanan untuk menemuiMu.” Sinar bulan seperti tangan-tangan yang menggapai ke arahku, sementara bulan itu masih terapung dan bergoyang-goyang. Seperti kapal yang menunggu penumpang untuk diberangkatkan entah ke mana. Tidak ada tangga yang bisa membawaku masuk ke dalam bulan. Aku sepertinya harus meloncat sekitar dua meter untuk sampai ke sana. Kutarik nafas dalam-dalam sebelum aku meloncat ke dalam bulan yang mengapung di sungai itu. Bulan akan mengantarkanku menemui Tuhan. Terasa dingin sekali….

***

Pagi tanpa sinar matahari….
Wartawan dan fotografer dari beberapa media cetak ramai-ramai ke pelabuhan. Ada juga beberapa kameramen televisi yang biasa menayangkan berita kriminal pada tengah hari. Lampu-lampu blitz berpendaran kesana kemari memotret sesosok tubuh yang mengapung di atas sungai, di pinggir dermaga. Ransel lusuh masih menempel di pundaknya. Rambutnya agak gimbal berwarna hitam kemerah-merahan. Memakai celana jeans lusuh warna biru laut dan kaos hitam lengan pendek. Tangannya memeluk sebuah bola plastik warna putih. Tubuhnya kurus kulitnya kuning langsat dan tinggi sekitar seratus tujuh puluhan.

Kota Mati,
Ditemukan sesosok tubuh pemuda keturunan berumur sekitar 23 tahun mengapung di pelabuhan. Menurut saksi mata yang tak mau disebutkan namanya, pemuda tak dikenal tersebut sudah berada di dermaga sejak siang kemarin. Dia nampak gelisah dan mondar-mandir di sekitar dermaga. Berdasarkan identifikasi dari pihak kepolisian, korban diperkirakan bunuh diri dengan cara melompat ke dalam laut yang airnya tengah pasang, karena tidak ditemukan sedikitpun tanda-tanda penganiayaan atau kejahatan lainnya. Pria tersebut diduga bunuh diri karena kesedihan ditinggal mati kekasihnya yang telah bunuh diri lebih dulu. Menurut informasi dari dinas terkait, mereka sama-sama mengidap HIV positif dan masuk dalam daftar pengawasan penderita AIDS. Seorang ibu setengah baya yang terakhir melihatnya pada tengah malam, pernah mendengar lelaki tersebut menyebut nama Tuhan berkali-kali sambil menangis. Untuk sementara jenazahnya masih disimpan di RSUD untuk divisum dan menunggu….


Sebuah koran kriminal yang terbit siang hari langsung menjadikannya headline dengan judul besar warna merah. Berita dilengkapi dengan foto yang diambil dari tiga posisi; sisi kiri, kanan dan atas. Sorenya kesibukan di dermaga masih tetap berlangsung seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.***
Pekanbaru, 2003
Wednesday, June 28, 2006

Cerpen M Badri

Bulan telah mengambil laut dari laut
dan mengembalikannya ke laut. Oleh pesona keindahannya
oleh kepasrahannya yang damai dan suci,...1)

Laut memang sangat indah. Hamparan pasir putih di garis pantai yang memanjang di semenanjung seperti lukisan alam yang melankolis. Belum lagi barisan nyiur yang berjejer menunggu para nelayan beranjak pulang. Mungkin itu pula yang membuat Cut Alia, betah tinggal di tepi laut. Bertahun-tahun, sambil menyelesaikan beberapa lembar cerita. Dalam setiap tulisannya dia tak pernah meninggalkan laut, lengkap dengan panorama alamnya yang erotis. Begitu juga dengan puluhan sajak yang hampir tiap minggu diantar tukang pos ke rumahku. Sajak-sajak yang indah, seperti sebuah mercusuar yang membebaskan mataku memandang pulau-pulau, alunan gelombang, matahari senja, dan gumpalan awan yang menutupi sebagian dirgantara. Cut Alia selalu menyisipkan beberapa kata romantis di akhir sajaknya.

“Tapi laut juga mengisyaratkan maut. Konon puluhan tahun lalu nenek moyang kami pernah mengalami kejadian yang mengerikan. Negeri kami yang terletak di ujung utara porak poranda diterjang gelombang yang menggulung seperti raksasa mematikan. Ratusan rumah dan puluhan hektar ladang rata dengan tanah. Ribuan mayat mengapung di tengah samudra, dan hanya sedikit yang tersisa.”

Dia menuliskan kalimat singkat lewat kartu pos beberapa bulan lalu. Kemudian kegundahannya tentang laut menyusul dalam berlembar-lembar cerita yang diselesaikannya. Alia dengan lugas menulis kisah mengerikan yang pernah dituturkan nenek moyangnya. Setiap selesai satu bagian, dia selalu mengirimkan salinannya kepadaku. Seperti biasa dia minta komentar tentang cerita-cerita yang ditulisnya. Bagaimana tanah bergoncang dengan hebat diselingi gemuruh dari segala penjuru, juga air laut yang tiba-tiba menyusut sejauh ratusan meter. Setelah itu, menurut cerita Alia, dalam sekejap air bah setinggi pohon kelapa melesat menghantam pemukiman. Dalam hitungan menit semuanya hancur lebur.

“Begitulah dulu nenekku bercerita. Yang tersisa hanya tiga buah surau dan beberapa orang penduduk yang sempat menyelamatkan diri ke bukit, termasuk mendiang nenekku. Mereka kemudian membangun kembali kampung itu dari awal, selama bertahun-tahun hingga menjadi kota kecil yang indah. Di kota inilah aku lahir dan dibesarkan. Sejak kecil aku sudah akrab dengan laut, bahkan tak jarang saat liburan aku dulu ikut ayah melaut hingga ke tengah samudera yang di kanan kirinya hanya ada ombak. Itulah sebabnya, selesai kuliah di Jakarta aku langsung pulang ke kampung. Meninggalkan hiruk pikuk ibukota yang hanya membuatku terluka.”

Aku melihat sisa air mata yang telah mengering di atas kertas putih yang kuterima beberapa pekan lalu. Ingatanku kembali menerawang pada kejadian tujuh tahun lalu. Sebagai aktivis sebuah LSM yang didirikan bersama beberapa mahasiswa satu daerah dengannya, Alia sering kali terlibat kasus dengan aparat. Dia dengan berani menolak DOM yang diberlakukan di daerahnya. Tak hanya lewat gerakan di jalanan, tetapi juga sajak-sajak dan cerita fiksinya membuat merah muka aparat. Beberapa rekannya diculik, termasuk Puteh, teman terdekatnya yang tiba-tiba hilang selepas rapat tengah malam.

Bersamaan dengan itu, ayahnya yang seorang kepala mukim dikabarkan tewas di tepi hutan daerah Lhokkruet yang sangat jauh dari kampung Alia. Tidak ada pihak yang mengaku bertanggungjawab atas kematian ayahnya. Tanpa menunggu pengambilan ijazah sarjana, Alia langsung pulang dan melupakan Jakarta untuk selama-lamanya. Beberapa bulan dia tidak ada kabar beritanya, sampai kemudian sajaknya yang ditujukan kepadaku dimuat salah satu koran ibukota. Aku segera menghubungi kantor redaksi koran tersebut dan mendapatkan alamat Alia. Sejak itulah hubungan komunikasi antara aku dengan Alia tak pernah terputus. Walau lewat surat, karena dari dulu kami paling suka menulis. Huruf-huruf yang tergores di atas kertas akan selalu tersimpan dan menjadi kenangan yang tak mudah terlupakan. Meski pun ada telepon seluler, paling sesekali kalau ada pulsa kami hanya memakainya untuk menulis pesan; good night have a nice dream, menjelang tengah malam.

Tanah kelahiran Cut Alia memang memancarkan aroma misterius. Sejak zaman dulu menggambarkan perjuangan dan semangat yang tak pernah pupus. Bahkan menurut cerita, negeri tersebut tak pernah bisa ditaklukkan oleh penjajah. Hingga kini pun kemelut selalu menyelimuti ujung utara pulau Sumatera itu. Namun Alia selalu bangga dengan negerinya, bahkan aku pun sering iseng memanggilnya dengan Cut Nyak Dien, sosok wanita Aceh yang menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah. Meski sering berseberangan pemikiran, sejak sama-sama tinggal di Jakarta aku selalu intim dengannya. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk dapat membaca jalan pikiran Alia.

Kubuka beberapa album lama yang terselip di antara tumpukan buku-buku tua. Hampir tujuh tahun? Kurasa sangat lama kami berpisah. Bahkan beberapa foto yang tersimpan dalam album mulai terlihat luntur dan buram. Ingin rasanya aku pergi ke negeri Alia, yang jaraknya hanya dipisahkan sebuah provinsi. Tapi Alia tetap melarangku, dengan alasan keamanan di sana masih memprihatinkan. Setiap hari selalu saja ada mayat korban pertikaian yang bergelimpangan.

“Aku lebih senang bila kamu tidak ke sini. Cukup ayahku saja, aku tak mau ada lagi orang yang kucintai mati di sini. Apakah kata-kata yang kutulis tidak cukup untuk mengobati rindumu? Bersabarlah, suatu saat entah di mana kita pasti akan berjumpa. Lagi pula apa yang akan kamu cari? Biarkanlah aku mencintai kesunyian. Aku akan sangat bahagia bila setiap akhir pekan selalu menerima surat darimu.”

Begitulah, di balik sosoknya yang lembut tersimpan sifat keras kepala. Tapi itulah yang kusuka dari Alia. Dia tak segan-segan melawan bila aku melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan hatinya. Pernah kami bertengkar hebat saat mendaki Gunung Pangrango di sebelah utara Sukabumi. Gara-gara aku memetik beberapa tangkai edelweis, yang menurutnya tidak boleh dilakukan. Padahal aku memetik bunga abadi itu untuknya, tapi dia tetap tidak peduli dan menangis di bawah gerimis yang tersaput kabut senja hari. Itulah Alia, dan beberapa album yang mengabadikan perjalanan kami masih tersimpan dengan rapi. Juga puluhan lembar dokumentasi pembacaan puisi yang dulu sering dia lakukan di halaman TIM atau di sekitar Monas, saat gelombang unjuk rasa membuat panas kota Jakarta.

Kota tempatku tinggal, sejak tiga bulan lalu hampir tiap hari diguyur hujan. Banjir juga melanda beberapa daerah yang menyebabkan ribuan rumah tenggelam dan para pengungsi menangis di tenda-tenda darurat. Barangkali itu akibat maraknya illegal logging yang hingga kini tak pernah terselesaikan Gang kecil menuju rumahku yang masih belum diaspal juga selalu becek. Di sana-sini genangan air terlihat menutupi lubang bekas roda kendaraan. Mungkin itulah sebabnya, sampai lebih dua pekan surat dari Alia tak kunjung tiba. Tukang pos barangkali enggan menjamah gang sempit yang becek, sekedar mengantarkan surat yang sejak beberapa tahun lalu rutin diantar setiap akhir pekan. Ada saja isyarat yang menandai kedatangan surat dari Alia, yang membuat jantungku berdebar-debar. Cerita-cerita tentang pantai yang ditulis Alia kalau dibukukan mungkin sudah mencapai ratusan halaman.

Aku pernah berjanji kepada Alia untuk membukukan surat-surat yang dia kirim kepadaku, tentu saja kalau mempunyai dana berlebih. Aku akan mengubahnya menjadi catatan romantis, yang di setiap bagiannya dihiasi gambar pantai lukisanku sendiri. Sebuah buku mungil yang di dalamnya terdapat berbagai macam cerita tentang keindahan laut dan hamparan pasir putih. Juga burung-burung camar berteriak nyaring memuja sunset yang membentang di atas Lautan Hindia. “Suatu saat aku akan mewujudkannya Lia,” kataku dalam surat yang kukirim pertengahan November lalu, bersamaan dengan kado ulang tahunnya.

Tapi aku tak akan memasukkan cerita tentang badai yang pernah menggulung negerinya puluhan tahun lalu. Cerita yang menyedihkan pasti akan merusak keindahan. Beberapa lembar cerita tentang bencana maha dahsyat sempat juga mengganggu pikiranku. Aku hanya berharap siklus alam tersebut tidak akan pernah terjadi lagi. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Rumah Krong Bade yang kini ditinggali Alia, seandainya cerita nenek Alia kembali melanda. Juga mercusuar setinggi pohon kelapa yang dibangun bersebelahan, tepat di bibir pantai. Terlebih gadis dalam foto yang dibalut kebaya warna biru laut. Aku tentu tak ingin kehilangan pemilik bulu mata lentik itu!
***

Minggu pagi, aku baru saja menemukan surat di bawah pintu rumah kostku. Surat beramplop putih dengan garis merah biru di sekelilingnya itu terlihat agak lusuh dan ada bekas bercak lumpur. Itu surat dari Alia. Seberkas tinta pudar dalam garis-garis terbenam seperti tertimpa logam, menunjukkan surat itu dikirim pekan kedua bulan Desember. Hampir sebulan surat ini baru sampai? Seperti diterbangkan merpati dengan sayap patah, pada malam berkabut yang diguyur hujan. Padahal biasanya dalam seminggu surat dari Alia sudah sampai ke tanganku.

“Masih ingatkah kamu dengan kisah nenek moyangku, yang dulu pernah kuceritakan kepadamu? Tiga malam sebelum menulis surat ini aku mengalami mimpi buruk. Tubuhku seperti bersayap dan terbang mengitari kota tempat tinggalku. Dari atas langit yang pucat tanpa cahaya, aku menyaksikan kotaku porak-poranda. Dan ternyata, banyak sekali orang-orang yang juga bersayap sepertiku. Jumlahnya mungkin mencapai ribuan, mereka terbang dengan air mata yang menyembur dan lengking yang menyayat. Langit tiba-tiba mendung dan bergemuruh, dan aku langsung terjaga. Tapi mimpi itu seperti berulang-ulang, hingga malam sebelum aku selesai menulis surat ini kepadamu.”

Tak ada kalimat-kalimat romantis dalam surat Alia. Indahnya pasir pantai seperti tersapu gelombang ketakutan. Di bagian terakhir yang biasanya disisipi sajak indah, kali ini berubah menjadi kalimat-kalimat gundah. Entah mengapa aku menjadi seperti begitu dekat dengan Alia, dan ingin berada di sampingnya. “Berdoalah semoga tidak terjadi apa-apa. Aku ingin selalu bersamamu Alia, walau lewat kata-kata,” kataku dalam pesan singkat. Namun kalimat yang kukirim lewat ponsel itu beberapa kali selalu gagal terkirim.

Baru saja mata ini akan terpejam untuk tidur siang setelah melewati pagi yang melelahkan, aku langsung tersentak mendengar siaran Breaking News dari salah satu stasiun televisi partikelir. Dalam berita tanpa gambar tersebut, diinformasikan bahwa telah terjadi gempa yang diikuti dengan gelombang tsunami di ujung utara pulau Sumatera. Belum diperoleh informasi selengkapnya, sebab seluruh jaringan komunikasi di lokasi bencana putus total. Aku langsung saja membayangkan sebuah kengerian yang luar biasa. Bayangan wajah Alia tak pernah lepas dari kedua mataku yang galau. Tidur siang kubatalkan, sekedar mencari kebenaran informasi tersebut lewat radio dan internet. Tapi belum ada kepastian, sebab kejadian diperkirakan baru mulai pada pagi hari.

Setelah hampir dua pekan bencana itu berlalu, aku tetap risau. Sepanjang pagi hingga malam aktivitasku tak pernah lepas dari channel beberapa stasiun televisi. Beberapa koran juga kubeli hanya untuk mengikuti perkembangan di lokasi bencana. Air mata yang sebelumnya membeku di balik retina, harus tumpah setelah menyaksikan negeri yang porak poranda. Mayat-mayat bergelimpangan di antara reruntuhan bangunan. Kota yang tadinya megah dalam beberapa menit kembali rata dengan tanah. Dari televisi aku sempat menyaksikan mercusuar seperti dalam foto yang dikirim Alia, tinggal sebagian. Lalu di manakah rumah tradisional di samping mercusuar? Aku hanya melihat puing-puing terbalut lumpur.

Wajah-wajah penuh kesedihan yang ditayangkan televisi tak satu pun yang menyerupai Alia. Juga foto-foto mengerikan yang terpampang di halaman pertama semua koran. Beberapa wartawan media cetak dan elektronik yang kukenal, dan sedang melakukan liputan ke lokasi bencana, juga tak ada yang mengetahui nasib Alia. Sengaja foto Alia kucetak banyak-banyak dan kukirimkan kepada beberapa teman yang akan melakukan liputan atau menjadi relawan. Tapi hingga kini tetap saja tak ada informasi yang menunjukkan keberadaan Cut Alia. Gadis itu seperti hilang ditelan gelombang....***

Pekanbaru, 7 Januari 2005


1)Dari sajak Juan Ramon Jimenez “Mawar Laut”, terjemahan Sapardi Djoko Damono.